Sabtu, 28 November 2009

Asuhan Keperawatan Otosklerosis

Asuhan keperawatan otosklerosis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Otosklerosis adalah suatu penyakit pada tulang pada bagian telinga tengah khususnya pada stapes yang disebabkan pembentukan baru tulang spongiosus dan sekitar jendela ovalis yang dapat mengakibatkan fisasi stapes. Lebih sering pada wanita biasanya bersifat herediter dan dapat memperberat karena kehamilan.
Kekurangan pendengaran ialah keadaan dimana orang kurang dapat mendengar dan mengerti perkataan yang didengarnya. Pendengaran normal ialah keadaan dimana orang tidak hanya dapat mendengar, tetapi juga dapat mengerti apa yang didengarnya.
Implantasi koklear telah menjadi pilihan dalam terapi tuli total. Untuk gangguan pada telinga tengah seperi otosklerosis, terapi pilihannya adalah pembedahan. Tetapi, belum ada pengobatan selain bedah bagi mereka yang mengalami gangguan pendengaran sensorineural. Pengetahuan akan genetik dalam ketulian memberi harapan bagi berkembangnya pengobatan baru. Ada anggapan bahwa sebagian kasus tuli pada anak disebabkan oleh mutasi gen tunggal, sedangkan sisanya oleh lingkungannya. (Brunner & Suddart,2001)
Untuk itu maka perawat perlu mengetahui tentang otosklerosis dan asuhan keperawatannya.







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Otosklerosis adalah suatu penyakit dimana tulang-tulang di sekitar telinga tengah dan telinga dalam tumbuh secara berlebihan sehingga menghalangi pergerakan tulang stapes (ulang telinga tengah yang menempel pada telinga dalam), akibatnya tulang stapes tidak dapat menghantarkan suara sebagaimana mestinya.(Mediastore.2004)
Otosklerosis adalah suatu penyakit pada tulang pada bagian telinga tengah khususnya pada stapes yang disebabkan pembentukan baru tulang spongiosus dan sekitar jendela ovalis sehingga dapat mengakibakan fiksasi pada stapes.(Brunner&Sudarth,2001)


B. Etiologi

1. Kolessteatoma
2. Sekresi, granulasi atau polip yang diakibakan oleh otitis media yang kronik, gangguan pendengaran pun mudah terjadi, karena bentuk tubanya lebih pendek, lebar, dan mendatar. Kalau ada infeksi di saluran pernapasan atas, misalnya batuk pilek atau influensa, kuman-kumannnya lebih leluasa untuk sampai ke rongga telinga tengah. Maka OMA pun cepat terjadi. Infeksi dapat menimbulkan perubahan lapisan mukosa telinga tengah. Perubahan ini terjadi berangsur-angsur, tidak langsung. Mula-mula tuba eustachius tersumbat, sehingga penderita merasa pendengarannya terganggu. Lalu terjadi perubahan pada lapisan mukosa di dalam telinga, terbentuk cairan di rongga telinga, dan gendang telinga membengkak. Penderita akan merasa sangat sakit dengan demam tinggi dan nyeri di telinga semakin bertambah. Kalau cairan tidak segera dikeluarkan, gendang telinga bisa pecah atau robek (perforasi), dan meninggalkan lubang. Tuli pun bisa terjadi.
Berdasarkan bagian yang mengalami gangguan atau kerusakan, tuli dibedakan menjadi tuli kondusif dan tuli saraf. Pada tuli kondusif, pendengaran menjadi terganggu karena ada gangguan hantaran suara akibat kelainan infeksi di telinga tengah hampir selalu menimbulkan tuli konduktif. Walaupun gendang telinga masih utuh, tulang-tulang pendengaran kita bisa terputus.
www.indomedia.com/intisari

3. Kelainan kongenital yang berupa tidak terbentuknya satu atau lebih dari tulang pendengaran.
4. Perubahan-perubahan patologik kapsul labyrinth karena virus atau bakteri (rubella,influenza). Perubahan atau kerusakan kapsul labyrinyh yang menyebabkan stapes kaku.(Brunner&Sudah,2001)
5. Otosklerosis merupakan suatu penyakit keturunan dan merupakan penyebab tersering dari tuli konduktif progresif pada dewasa yang gendang telinganya normal.
Jika pertumbuhan berlebih ini menjepit dan menyebabkan kerusakan pada saraf-saraf yang menghubungkan telinga dalam dengan otak, maka bisa terjadi tuli sensorineural. .(Mediastore.2004)


C. Patofisiologi

Infeksi dapat menimbulkan perubahan lapisan mukosa telinga tengah. Perubahan ini terjadi berangsur-angsur, tidak langsung. Mula-mula tuba eustachius tersumbat, sehingga penderita merasa pendengarannya terganggu. Lalu terjadi perubahan pada lapisan mukosa di dalam telinga, terbentuk ran di rongga telinga, dan gendang telinga membengkak. Penderita akan merasa sangat sakit dengan demam tinggi dan nyeri di telinga semakin bertambah. Kalau cairan tidak segera dikeluarkan, gendang telinga bisa pecah atau robek (perforasi), dan meningalkan lubang. Tuli bisa terjadi.
Berdasarkan bagian yang mengalami gangguan atau kerusakan, tuli dibedakan menjadi tuli kondutif dan tuli saraf. Pada tuli konduktif, pendengaran menjadi terganggu karena ada gangguan hantaran suara akibat kelainan infeksi di telinga hampir selalu menimbulkan tuli konduktif. Walaupun gendang teling masih utuh, tulang-tulang pendengaran bisa terputus.
Otosklerosis merupakan suatu penyakit keturunan dan merupakan penyebab tersering dari tuli kondusif progresif pada dewasa yang gendang telinganya normal. Kekurangan pendengaran yang kongenital, dimana telinga luar dan telinga tengah masih ada, bisa diakibakan oleh efek toksik. Otosklerosis diperkirakan disebabkan oleh adanya pembentukan baru tulang spongiosum yang abnormal, khususnya sekitar jendela ovalis yang mengakibatkan fiksasi pada stapes sehingga efisiensi transmisi suara menjadi terhambat karena stapes tidak dapat bergetar dan menghantarkan suara yang dihantarkan dari maleus dan inkus ke telinga dalam. Penyebab kekurangan pendengaran di telinga tengah ialah membran tympai yag abnormal, misalnya penebalan yang hebat, retraksi, skarifikasi atau perforasi. Kekakuan tulang-tulang pendengaran atau perubahan apapun di telinga tengah yang menyebabkan mobilitas tulang-tulang pendengaran terganggu, sekresi, granulasi atau polip yang diakibatkan oleh otitis media yang kronik. Kelainan kongenital yang berupa tidak terbentuknya satu atau lebih dari tulang pendengaran. Perubahan-perubahan patologik dari kapsul labyrinth yang menyebabkan stapes kaku. Kelainan ini dikenal dengan nama otosklerosis.(Medistore.com.2004)




D.Manifestasi Klinis

1. Pedengaran menurun secara progresif
2. Telinga berdenging (tinitus)
adalah bunyi abnormal yang didengar penderita yang berasal dari dalam kepala,biasanya disebut juga telinga berdengung.Ini bisa karena berbagai keadaan,tinnitus merupakan gejala medis yang agak membingungkan untuk di evaluasi,karena patologi hanya dapat dideteksi pada sekitar 5%kesempatan.Dalam sebagian besar kasus,tak ada terapi yang tersedia.Kadang-kadang orang akan menyalahkan denyut jantungnya bagi bising di dalam telinga.Ini bisa juga dikacaukan dengan bunyi vaskular,kongesti vena atau pulsasi sekunder terhadap masalah kardio sistemik.Tinnitus dibagi atas tinnitus objektif,bila suara tersebut dapat didengar juga oleh pemeriksa atau dengan auskultasi di sekitar telinga dan tinnitus subjektif,bila suara tersebut hanya didengar oleh penderita dan jenis ini sering terjadi.Tinnitus merupakan gejala yang sering terjadi dan dapat tidak dikenalai oleh kebanyakan orang sampai penyebabnya ditemukan dan dapat ditentramkan bahwa tidak ada problema yang gawat.Tinnitus dapat timbul pada usia kapanpun,tetapi gejala ini sering timbul pada usia 40-80 tahun.Belakangan ini besar daya tarik yang dipusatkan pada gejala ini,dan telah diperkenalkan cara terapi baru yang memberikan harapan.Pertanyaan yang diajukan selama anamnesis mencakup:
1.Apakah tinnitus unilateral atau bilateral?
2.Apakah tinnitus kontinu atau intermiten?
3.Tentukan sifat tinnitus(frekuensi tinggi atau rendah)
4.Apakah ada sistem yang menertai yaitu tuli?
Pemeriksaan fisik akan normal pada kebanyakan pasien.tes pertama yang harus dilakukan adalah audiogram,ini mencakup hantaran tulang dan udara nada murni standar.jika abnormal,maka tes tempat lesi audimetrik lebih lanjut harus dilakukan unutk menentukan apakah masalahnya koklea atau retrokoklea.Evaluasi lainnya dapat juga dengan politom elektronistagmografi(ENG) atau skan CT os temporale.Pasien tinnitus dan tuli kondulktif bisa mempunyai penjelasan yang jelas untuk tinnitus yaitu serumaen yang menyumbat,otitis eksterna atau perforasi membarana timpani,semuanya akan jelas pada pemeriksaan yanglebih lanjut. Tinnitus bisa juga disebabkan oleh efusi atau infeksi telinga tengah.
Tinnitus adalah bunyi abnomal yang didengar penderita yang bersal dari dalam kepala, biasanya disebut juga telinga berdengung. Ini bisa karena berbagai keadaan, tinnitus merupakan gejala medis yang agak membingungkan untuk di evaluasi, karena patologi hanya dpat dideteksi pda sekitar 5% kesempatan

3. Vertigo
4. Ketulian 30-40 db (desible)

E. Komplikasi

1. Tuli kondusif
2. Glomus jugulare (tumor yang tumbuh dari bulbus jugularis)
3. Neuroma nervus fasialis (tumor yang berada pada nervus VII, nervus fasialis)
4. Granuloma Kolesterin. Reaksi system imun terhadap produksi samping darah (kristal kolesterol)
5. Timpanosklerosis. Timbunan kolagen da kalsium didalam telinga tengah yang dapat mengeras disekitar osikulus sebagai akibat infeksi berulang. (Bruer & Suddart,2001)

F. Pemeriksaan Penunjang

1. Otoskopik
Untuk menemukan membran timpani yang normal
2. Pemeriksaan Audiometri/Audiologi
Untuk menguatkan adanya kehilangan pendengaran kondusif atau campuran khususnya pada frekuensi rendah.
Hasil dari tes pendengaran dengan audiometer ini digambar dalam grafik yang disebut audiogram. Apabila pemeriksaan dengan audiometer ini dilakukan, tes-tes suara bisik dan garpu suara tak banyak diperlukan lagi, sebab hasil audiogram lebih lengkap. Dengan audiometer dapat dibuat 2 macam audio-gram :
Audiogram nada murni (pure tone
audiogram)
Audiogram bicara (speech audiogram)
Dengan
audiometer dapat pula dilakukan tes-tes :
tes SISI (Short Increment Sensitivity Index), tes Fowler
dimana dapat diketahui bahwa kelainan ada di koklear atau
bukan.
tes Tone Decay dimana dapat diketahui apakah kelainan
dibelakang koklea
(retro cochlear) atau bukan. Kelainan retro coklear ini misalnya ada tumor yang menekan N VIIIKeuntungan pemeriksaan dengan audiometer kecuali dapat ditentukan dengan lebih tepat lokalisasi kelainan yang me-nyebabkan ketulian juga dapat diketahui besarnya ketulian yang diukur dengan satu db (desibel).

3. CT scan atau roentgen
Untuk mengidentifikasi adanya kerusakan dan keabnormalan pada struktur telinga
4. Test Rine

Dengan garpu suara frekuensi 64, 128, 256, 512, 1024, 2048 dan 4096 hz, dibunyikan dengan cara tertentu lalu disuruh mendengarkan pada orang yang dites. Bila penderita banyak tak mendengar pada frekuensi rendah berarti tuli konduksi. Bila banyak tak mendengar pada frekuensi tinggi berarti tuli persepsi Kemudian dengan garpu suara frekuensi 256 atau 512 hz dilakukan tes-tes Rinne, Weber dan Schwabach sehingga lebih jelas lagi apakah tuli penderita dibagian konduksi atau persepsi
Yaitu test yang menggunakan garputala, untuk mengetahui perbedaan antara hantaran udara degan hantaran tulang
5. Test Weber
Yaitu test yang menggunakan garputala, untuk mengetahui daya tangkap suara antara telinga kanan dengan teliga kiri.(Brunner&Suddarth,2001)
6. Test Bisik
Test ini digunakan untuk mendeteksi pendengaran pasien pada jarak 5 meter dengan mendengarkan kata-kata yang dibisikkan yang memiliki nada rendah sampai dengan yang yang memiliki nada tinggi
Caranya ialah dengan membisikkan kata-kata yang dikenal penderita dimana kata-kata itu mengandung huruf lunak dan huruf desis. Lalu diukur berapa meter jarak penderita dengan pembisiknya sewaktu penderita dapat mengulangi kata-kata yang dibisikan dengan benar. Pada orang normal dapat mendengar 80% dari kata-kata yang dibisikkan pada jarak 6 s/d 10 meter. Apabila kurang dari 5 - 6 meter berarti ada kekurang pendengaran. Apabila penderita tak dapat mendengarkan kata-kata dengan huruf lunak, berarti tuli konduksi. Sebaliknya bila tak dapat mendengar kata-kata dengan huruf desis berarti tuli persepsi. Apabila dengan suara bisik sudah tidak dapat mendengar dites dengan suara konversasi atau percakapan biasa. Orang normal dapat mendengar suara konversasi pada jarak 200 meter.

7. Diskriminasi
Dengan diskriminasi dilakukan penilaian terhadap kemampuan untuk membedakan kata-kata yang bunyinya hampir sama dan digunakan kata-kata yang terdiri dari 1 suku kata, yang bunyinya hampir sama
Pada tuli kondusif, nilai diskriminasinya (presentasi kata-kata yang diulang dengan benar) biasanya berada dalam batas normal. Pada tuli sensori, nilai diskriminasi berada di bawah normal.
8. Timpanometri
Timpanometri merupakan sejenis audiometri, yang mengukur impedansi (tahanan terhadap tekanan) pada telinga tengah. Timpanometri digunakan untuk membantu menentukan penyebab dari tuli kondusif. Prosedur ini tidak memerlukan partisipasi aktif dari penderita dan bisanya digunakan pada anak-anak. Timpanometri terdiri dari sebuah mikrofon dan sebuah sumber suara yang terus menerus menghasilkan suara dan dipasang di saluran telinga. Dengan alat ini bisa diketahui berapa banyak suara yang melalui teling tengah dan berapa banyak suara yang dipantulkan kembali sebagai perubahan tekanan di saluran telinga. Hasil pemeriksaan menunjukkan apakah masalahnya berupa:
Penyumbatan tuba eustachius (saluran yang menghubungkan telinga tengah dengan hidung bagian belakang)
Cairan di dalam telinga tengah
Kelainan pada rantai ketiga tulang pendengaran yang menghantarkan suara melalui telinga tengah
Timpanometri juga bisa menunjukkan adanya perubahan pada kontraksi otot stapedius, yang melekat pada tulang stapes salah satu tulang pendengaran di telinga tengah). Dalam keadaan normal, otot ini memberikan respon terhadap suara-suara yang keras atau gaduh (reflek akustik) sehingga mengurangi penghantaran suara dan melindungi telinga tengah. Jika terjadi penurunan fungsi pendengaran neutral, maka refleks akustik akan berubah atau menjadi lambat. Dengan refleks yang lambat, otot stapedius tidak dapat tetap berkontraski selama telinga menerima suara yang gaduh.
9. Tes dengan Impedance

Tes ini paling obyektif dari tes-tes yang terdahulu. Tes ini hanya memerlukan sedikit kooperasi dari penderita sehingga pada anak-anak di bawah 5 tahun pun dapat dikerjakan dengan baik. Dengan mengubah-ubah tekanan pada meatus akustikus ekterna (hang telinga bagian luar) dapat diketahui banyak
tentang keadaan telinga bagian tengah (kavum timpani). Dari pemeriksaan dengan Impedancemeter
dapat diketahui :
Apakah kendang telinga (membrana timpani) ada lobang
atau tidak
Apakah ada cairan (infeksi) di dalam telinga bagian tengah?
Apakah ada gangguan hubungan antara hidung dan telinga
bagian tengah yang melalui tuba Eustachii.
Apakah ada perlekatan-perlekatan di telinga bagian tengah
akibat suatu radang.
Apakah rantai tulang-tulang telinga terputus karena kece-
lakaan (trauma kepala) atau sebab infeksi.
Apakah ada penyakit di tulang telirigastapes (otosklerosis).
Berapa besar tekanan pada telinga bagian tengah


DERAJAT KETULIAN

Tuli amat berat bila lebih dari 80 db Untuk mengetahui derajat ketulian dapat memakai suara bisik sebagai dasar yaitu sebagai berikut :
Normal bila suara bisik antara 5 - 6 meter
Tuli ringan bila suara bisik 4 meter
Tuli sedang bila suara bisik antara 2 - 3 meter
Tuli berat bila suara bisik antara 0 - 1 meter.
Apabila yang dipakai dasar audiogram nada murni, derajat ketulian ditentukan oleh angka rata-rata intensitas pada frekuensi-frekuensi 500, 1000 dan 2000 Hz yang juga disebut speech frequency. Konversasi biasa besarnya kurang lebih 50 db.Derajat ketulian berdasar audiogram nada murni adalah sebagaiberikut :
Normal antara 0 s/d 20 db.
Tull ringan antara 21 s/d 40 db.
Tull sedang antara 41 s/d 60 db.
Tull berat antara 61 s/d 80 db.


G. Penatalaksanaan Medis

Pengangkatan tulang stapes dan menggantikanya dengan tulang buatan bisa mengembalikan pendengaran penderita. Ada pilihan prosedur, yaitu:
1. Stapedektomi (pengangkatan tulang stapes dan penggantian denga protese)
Beberapa ahli bedah memilih hanya mengambil sebagaian dataran kaki stapes dengan harapan hasilnya lebih baik, tanpa memperhatikan metode yang digunakan protesis dapat membantu menjembatani gp atara inkus dan telinga dalam.
2. Stapedotomi (pembuatan lubang pada tulang stapes untuk memasukkan protese)
3. Penggunaan flurical (suplemen fluorida) yang dapat memperlambat pertumbuhan tulang spongiosa abnormal.
4. Alat Bantu dengar
Untuk rehabilitasi auditori sehingga suara lebih peka untuk diterima. Alat bantu dengar merupakan suatu alat elektronik yang dioperasikan dengan batere, yang berfungsi memperkuat dan merubah sura sehingga komunikasi bisa berjalan dengan lancar. Alat bantu dengar terdiri dari:
Sebuah mikrofon untuk menangkap suara
Sebuah amplifier untuk meningkatkan volume suara
Sebuah speaker untuk menghantarkan suara yang volumenya telah dinaikkkan
Berdasarkan hasil test fungsi pendengaran, seorang audiologis bisa menentukan apakah penderita sudah memerlukan alat bantu dengar atau belum (audiologis adalah seorang profesional kesehatan yang ahli dalam mengenali dan menentukan beratnya gangguan fungsi pendengaran dan pemahaman percakapan pada penderita penurunan fungsi pendengaran sensorineural, Dalam menentukan suatu alat bantu dengar, seorang audiologis biasanya akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Kemampuan mendengar penderita
Aktivitas di rumah maupun di tempt kerja
Keterbtasan fisik
Keadaan medis
Penampilan
Harga
Terdapat dua jenis alat bantu dengar berdasarkan hantarannya, yaitu:
Alat bantu dengar hantarn udara
Alat ini paling banyak digunakan, biasanya dipasang di dalam saluran telinga dengan sebuah penutup kedap udara atau sebuah selang kecil yang terbuka. Alat ini ada 4 macam yaitu:
• Alat bantu dengar yang dipasang di badan, digunakan pada penderita tuli dan merupakan alat bantu dengar yang paling kuat. Alat ini disimpan dalam saku kemeja atau celana dan dihubungkan dengan sebuah kabel ke alat yang dipasang di saluran telinga. Alat ini seringkali dipakai oleh bayi dan anak-anak karena pemakaiannya lebih mudah dan tidak mudah rusak.
• Alat bantu dengar yang dipasang di belakang telinga digunakan untuk penderita gangguan fungsi pendengaran sedang sampai berat. Alat ini dipasang di belakang telinga dan relatif tidak terlihat oleh orang lain.
• CROS (contralaterl routing of signals). Alat ini digunakan oleh penderita yang hanya mengalami gangguan fungsi pendengaran pada salah satu telinganya. Mikrofon dipasang pada telinga yang tidak berfungsi melalui sebuah kabel atau sebuah transmitter radio berukuran mini. Dengan alat ini penderita dapat mendengarkan suara dari sisi telinga yang tidak berfungsi.
• BICROS (Bilateral CROS) Jika telinga yang masih berfungsi juga mengalami penurunan fungsi pendengaran yang ringan, maka suara dari kedua telinga bisa diperkeras dengan alat ini.
Alat bantu dengar hantaran tulang
Alat ini digunakan oleh penderita yang tidak dapat memakai alat bantu dengar hantaran udara, misalnya penderita yang terlahir tanpa saluran telinga atau jika dari telinganya keluar cairan (otore). Alat ini dipasang di kepala, biasanya di belakang telinga dengan bantuan sebuah pita elastis. Suara dihantarkan melalui tulang tengkorak ke telinga dalam. Beberapa alat bantu dengan hantaran tulang bisa ditanamkan pada tulang di belakang telinga.
5. Implan koklea
Dengan mengganti koklea yang mengalami kerusakan. Pencangkokan koklea dilakukan pada penderita tuli berat yang tidak dapat mendengar meskipun telah menggunakan alat bantu dengar. Suatu implan tidak mengembalikan ataupun menciptakan fungsi pendengaran yang normal, tetapi bisa memberikan pemahaman auditoris kepada penderita tuli dan membantu merek dalam memahami percakapan. Implan koklea sangat berbeda dengan alat bantu dengar. Alat bantu dengar berfungsi memperkeras suara. Implan koklea menggantikan fungsi dari bagian telinga dalam yang mengalami kerusakan. Jika fungsi pendengarannya normal, gelombang suara diubah menjadi gelombang listrik oleh telinga dalam. Gelombang listrik ini lalu dikirim ke otak dan kita menerimanya sebagai suara, Implan koklea bekerja dengan cara yang sama. Secara elektonik, implan koklea menemukan bunyi yang berarti dan kemudian mengirimnya ke otak (Brunner&Suddart,2001)

Pengangkatan tulang stapes dan menggantinya dengan tulang buatan bisa mengembalikan pendengaran penderita.
Ada 2 pilihan prosedur, yaitu:
• Stapedektomi (pengangkatan tulang stapes dan penggantian dengan protese)
• Stapedotomi (pembuatan lubang pada tulang stapes untuk memasukkan protese).

Jika penderita enggan menjalani pembedahan, bisa digunakan alat bantu dengar.
(Mediastore.2004)

II. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan
Penggambaran tentang penggambaran masalah telinga sebelumya khususya telinga bagian tengah (termasuk adanya infeksi dan kehilangan pendengaran)
b. Riwayat pengguanaan obat sebelumya (alergi terhadap obat)
c. Riwayat keluarga penyakit telinga (pendengaran)
d. Kaji adanya nyeri pada telinga (otalgia)
e. Kaji adanya eritma
f. Kaji adaya secret pada telinga (otora)
g. Tinnitus
2. Diagnosa Keperawatan
Pre operatif
a. Perubahan persepsi sensori pendengaran berhubungan dengan penurunan resepsi sensori
b. Gangguan komunikasi verbal berhubugan dengan kehilagan cotrol otot fasial
c. Gangguan rasa nyaman; nyeri berhubungan dengan adanya penekanan massa pada tulang teliga.
d. Gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh
e. Resiko tinggi cidera berhubungan dengan adanya vertigo
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya vertigo
g. Ansientas berhubungan dengan adanya krisis situasi
h. Kurang pegetahuan berhubungan dengan tidak mengenal informasi
Post operatif
a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan insisi pada jaringan kulit telinga
b. Gangguan rasa nyaman; nyeri berhubunga dengan pembedaha telinga ekstensif
c. Gagguan harga diri berhubungan dengan perubahan barier kulit dengan adanya jaringan parut
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan sekunder terhadap pembedahan telinga.
DAFTAR PUSTAKA


Brunner & Suddarth 2002. Keperawatan Medical Bedah. Jakarta: EGC.
Dorland, 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC
Dongoes, Marilyan Eet all. 1999 Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi III
Jakarta :EGC
Medicastore.com. 2001

http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/12_Ketulian.pdf/12_Ketulian
http://fkuii.org/tiki-index.php?page=Tinnitus4

Askep Otosklerosis

Otosklerosis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Otosklerosis adalah suatu penyakit pada tulang pada bagian telinga tengah khususnya pada stapes yang disebabkan pembentukan baru tulang spongiosus dan sekitar jendela ovalis yang dapat mengakibatkan fisasi stapes. Lebih sering pada wanita biasanya bersifat herediter dan dapat memperberat karena kehamilan.
Kekurangan pendengaran ialah keadaan dimana orang kurang dapat mendengar dan mengerti perkataan yang didengarnya. Pendengaran normal ialah keadaan dimana orang tidak hanya dapat mendengar, tetapi juga dapat mengerti apa yang didengarnya.
Implantasi koklear telah menjadi pilihan dalam terapi tuli total. Untuk gangguan pada telinga tengah seperi otosklerosis, terapi pilihannya adalah pembedahan. Tetapi, belum ada pengobatan selain bedah bagi mereka yang mengalami gangguan pendengaran sensorineural. Pengetahuan akan genetik dalam ketulian memberi harapan bagi berkembangnya pengobatan baru. Ada anggapan bahwa sebagian kasus tuli pada anak disebabkan oleh mutasi gen tunggal, sedangkan sisanya oleh lingkungannya. (Brunner & Suddart,2001)
Untuk itu maka perawat perlu mengetahui tentang otosklerosis dan asuhan keperawatannya.







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Otosklerosis adalah suatu penyakit dimana tulang-tulang di sekitar telinga tengah dan telinga dalam tumbuh secara berlebihan sehingga menghalangi pergerakan tulang stapes (ulang telinga tengah yang menempel pada telinga dalam), akibatnya tulang stapes tidak dapat menghantarkan suara sebagaimana mestinya.(Mediastore.2004)
Otosklerosis adalah suatu penyakit pada tulang pada bagian telinga tengah khususnya pada stapes yang disebabkan pembentukan baru tulang spongiosus dan sekitar jendela ovalis sehingga dapat mengakibakan fiksasi pada stapes.(Brunner&Sudarth,2001)


B. Etiologi

1. Kolessteatoma
2. Sekresi, granulasi atau polip yang diakibakan oleh otitis media yang kronik, gangguan pendengaran pun mudah terjadi, karena bentuk tubanya lebih pendek, lebar, dan mendatar. Kalau ada infeksi di saluran pernapasan atas, misalnya batuk pilek atau influensa, kuman-kumannnya lebih leluasa untuk sampai ke rongga telinga tengah. Maka OMA pun cepat terjadi. Infeksi dapat menimbulkan perubahan lapisan mukosa telinga tengah. Perubahan ini terjadi berangsur-angsur, tidak langsung. Mula-mula tuba eustachius tersumbat, sehingga penderita merasa pendengarannya terganggu. Lalu terjadi perubahan pada lapisan mukosa di dalam telinga, terbentuk cairan di rongga telinga, dan gendang telinga membengkak. Penderita akan merasa sangat sakit dengan demam tinggi dan nyeri di telinga semakin bertambah. Kalau cairan tidak segera dikeluarkan, gendang telinga bisa pecah atau robek (perforasi), dan meninggalkan lubang. Tuli pun bisa terjadi.
Berdasarkan bagian yang mengalami gangguan atau kerusakan, tuli dibedakan menjadi tuli kondusif dan tuli saraf. Pada tuli kondusif, pendengaran menjadi terganggu karena ada gangguan hantaran suara akibat kelainan infeksi di telinga tengah hampir selalu menimbulkan tuli konduktif. Walaupun gendang telinga masih utuh, tulang-tulang pendengaran kita bisa terputus.
www.indomedia.com/intisari

3. Kelainan kongenital yang berupa tidak terbentuknya satu atau lebih dari tulang pendengaran.
4. Perubahan-perubahan patologik kapsul labyrinth karena virus atau bakteri (rubella,influenza). Perubahan atau kerusakan kapsul labyrinyh yang menyebabkan stapes kaku.(Brunner&Sudah,2001)
5. Otosklerosis merupakan suatu penyakit keturunan dan merupakan penyebab tersering dari tuli konduktif progresif pada dewasa yang gendang telinganya normal.
Jika pertumbuhan berlebih ini menjepit dan menyebabkan kerusakan pada saraf-saraf yang menghubungkan telinga dalam dengan otak, maka bisa terjadi tuli sensorineural. .(Mediastore.2004)


C. Patofisiologi

Infeksi dapat menimbulkan perubahan lapisan mukosa telinga tengah. Perubahan ini terjadi berangsur-angsur, tidak langsung. Mula-mula tuba eustachius tersumbat, sehingga penderita merasa pendengarannya terganggu. Lalu terjadi perubahan pada lapisan mukosa di dalam telinga, terbentuk ran di rongga telinga, dan gendang telinga membengkak. Penderita akan merasa sangat sakit dengan demam tinggi dan nyeri di telinga semakin bertambah. Kalau cairan tidak segera dikeluarkan, gendang telinga bisa pecah atau robek (perforasi), dan meningalkan lubang. Tuli bisa terjadi.
Berdasarkan bagian yang mengalami gangguan atau kerusakan, tuli dibedakan menjadi tuli kondutif dan tuli saraf. Pada tuli konduktif, pendengaran menjadi terganggu karena ada gangguan hantaran suara akibat kelainan infeksi di telinga hampir selalu menimbulkan tuli konduktif. Walaupun gendang teling masih utuh, tulang-tulang pendengaran bisa terputus.
Otosklerosis merupakan suatu penyakit keturunan dan merupakan penyebab tersering dari tuli kondusif progresif pada dewasa yang gendang telinganya normal. Kekurangan pendengaran yang kongenital, dimana telinga luar dan telinga tengah masih ada, bisa diakibakan oleh efek toksik. Otosklerosis diperkirakan disebabkan oleh adanya pembentukan baru tulang spongiosum yang abnormal, khususnya sekitar jendela ovalis yang mengakibatkan fiksasi pada stapes sehingga efisiensi transmisi suara menjadi terhambat karena stapes tidak dapat bergetar dan menghantarkan suara yang dihantarkan dari maleus dan inkus ke telinga dalam. Penyebab kekurangan pendengaran di telinga tengah ialah membran tympai yag abnormal, misalnya penebalan yang hebat, retraksi, skarifikasi atau perforasi. Kekakuan tulang-tulang pendengaran atau perubahan apapun di telinga tengah yang menyebabkan mobilitas tulang-tulang pendengaran terganggu, sekresi, granulasi atau polip yang diakibatkan oleh otitis media yang kronik. Kelainan kongenital yang berupa tidak terbentuknya satu atau lebih dari tulang pendengaran. Perubahan-perubahan patologik dari kapsul labyrinth yang menyebabkan stapes kaku. Kelainan ini dikenal dengan nama otosklerosis.(Medistore.com.2004)




D.Manifestasi Klinis

1. Pedengaran menurun secara progresif
2. Telinga berdenging (tinitus)
adalah bunyi abnormal yang didengar penderita yang berasal dari dalam kepala,biasanya disebut juga telinga berdengung.Ini bisa karena berbagai keadaan,tinnitus merupakan gejala medis yang agak membingungkan untuk di evaluasi,karena patologi hanya dapat dideteksi pada sekitar 5%kesempatan.Dalam sebagian besar kasus,tak ada terapi yang tersedia.Kadang-kadang orang akan menyalahkan denyut jantungnya bagi bising di dalam telinga.Ini bisa juga dikacaukan dengan bunyi vaskular,kongesti vena atau pulsasi sekunder terhadap masalah kardio sistemik.Tinnitus dibagi atas tinnitus objektif,bila suara tersebut dapat didengar juga oleh pemeriksa atau dengan auskultasi di sekitar telinga dan tinnitus subjektif,bila suara tersebut hanya didengar oleh penderita dan jenis ini sering terjadi.Tinnitus merupakan gejala yang sering terjadi dan dapat tidak dikenalai oleh kebanyakan orang sampai penyebabnya ditemukan dan dapat ditentramkan bahwa tidak ada problema yang gawat.Tinnitus dapat timbul pada usia kapanpun,tetapi gejala ini sering timbul pada usia 40-80 tahun.Belakangan ini besar daya tarik yang dipusatkan pada gejala ini,dan telah diperkenalkan cara terapi baru yang memberikan harapan.Pertanyaan yang diajukan selama anamnesis mencakup:
1.Apakah tinnitus unilateral atau bilateral?
2.Apakah tinnitus kontinu atau intermiten?
3.Tentukan sifat tinnitus(frekuensi tinggi atau rendah)
4.Apakah ada sistem yang menertai yaitu tuli?
Pemeriksaan fisik akan normal pada kebanyakan pasien.tes pertama yang harus dilakukan adalah audiogram,ini mencakup hantaran tulang dan udara nada murni standar.jika abnormal,maka tes tempat lesi audimetrik lebih lanjut harus dilakukan unutk menentukan apakah masalahnya koklea atau retrokoklea.Evaluasi lainnya dapat juga dengan politom elektronistagmografi(ENG) atau skan CT os temporale.Pasien tinnitus dan tuli kondulktif bisa mempunyai penjelasan yang jelas untuk tinnitus yaitu serumaen yang menyumbat,otitis eksterna atau perforasi membarana timpani,semuanya akan jelas pada pemeriksaan yanglebih lanjut. Tinnitus bisa juga disebabkan oleh efusi atau infeksi telinga tengah.
Tinnitus adalah bunyi abnomal yang didengar penderita yang bersal dari dalam kepala, biasanya disebut juga telinga berdengung. Ini bisa karena berbagai keadaan, tinnitus merupakan gejala medis yang agak membingungkan untuk di evaluasi, karena patologi hanya dpat dideteksi pda sekitar 5% kesempatan

3. Vertigo
4. Ketulian 30-40 db (desible)

E. Komplikasi

1. Tuli kondusif
2. Glomus jugulare (tumor yang tumbuh dari bulbus jugularis)
3. Neuroma nervus fasialis (tumor yang berada pada nervus VII, nervus fasialis)
4. Granuloma Kolesterin. Reaksi system imun terhadap produksi samping darah (kristal kolesterol)
5. Timpanosklerosis. Timbunan kolagen da kalsium didalam telinga tengah yang dapat mengeras disekitar osikulus sebagai akibat infeksi berulang. (Bruer & Suddart,2001)

F. Pemeriksaan Penunjang

1. Otoskopik
Untuk menemukan membran timpani yang normal
2. Pemeriksaan Audiometri/Audiologi
Untuk menguatkan adanya kehilangan pendengaran kondusif atau campuran khususnya pada frekuensi rendah.
Hasil dari tes pendengaran dengan audiometer ini digambar dalam grafik yang disebut audiogram. Apabila pemeriksaan dengan audiometer ini dilakukan, tes-tes suara bisik dan garpu suara tak banyak diperlukan lagi, sebab hasil audiogram lebih lengkap. Dengan audiometer dapat dibuat 2 macam audio-gram :
Audiogram nada murni (pure tone
audiogram)
Audiogram bicara (speech audiogram)
Dengan
audiometer dapat pula dilakukan tes-tes :
tes SISI (Short Increment Sensitivity Index), tes Fowler
dimana dapat diketahui bahwa kelainan ada di koklear atau
bukan.
tes Tone Decay dimana dapat diketahui apakah kelainan
dibelakang koklea
(retro cochlear) atau bukan. Kelainan retro coklear ini misalnya ada tumor yang menekan N VIIIKeuntungan pemeriksaan dengan audiometer kecuali dapat ditentukan dengan lebih tepat lokalisasi kelainan yang me-nyebabkan ketulian juga dapat diketahui besarnya ketulian yang diukur dengan satu db (desibel).

3. CT scan atau roentgen
Untuk mengidentifikasi adanya kerusakan dan keabnormalan pada struktur telinga
4. Test Rine

Dengan garpu suara frekuensi 64, 128, 256, 512, 1024, 2048 dan 4096 hz, dibunyikan dengan cara tertentu lalu disuruh mendengarkan pada orang yang dites. Bila penderita banyak tak mendengar pada frekuensi rendah berarti tuli konduksi. Bila banyak tak mendengar pada frekuensi tinggi berarti tuli persepsi Kemudian dengan garpu suara frekuensi 256 atau 512 hz dilakukan tes-tes Rinne, Weber dan Schwabach sehingga lebih jelas lagi apakah tuli penderita dibagian konduksi atau persepsi
Yaitu test yang menggunakan garputala, untuk mengetahui perbedaan antara hantaran udara degan hantaran tulang
5. Test Weber
Yaitu test yang menggunakan garputala, untuk mengetahui daya tangkap suara antara telinga kanan dengan teliga kiri.(Brunner&Suddarth,2001)
6. Test Bisik
Test ini digunakan untuk mendeteksi pendengaran pasien pada jarak 5 meter dengan mendengarkan kata-kata yang dibisikkan yang memiliki nada rendah sampai dengan yang yang memiliki nada tinggi
Caranya ialah dengan membisikkan kata-kata yang dikenal penderita dimana kata-kata itu mengandung huruf lunak dan huruf desis. Lalu diukur berapa meter jarak penderita dengan pembisiknya sewaktu penderita dapat mengulangi kata-kata yang dibisikan dengan benar. Pada orang normal dapat mendengar 80% dari kata-kata yang dibisikkan pada jarak 6 s/d 10 meter. Apabila kurang dari 5 - 6 meter berarti ada kekurang pendengaran. Apabila penderita tak dapat mendengarkan kata-kata dengan huruf lunak, berarti tuli konduksi. Sebaliknya bila tak dapat mendengar kata-kata dengan huruf desis berarti tuli persepsi. Apabila dengan suara bisik sudah tidak dapat mendengar dites dengan suara konversasi atau percakapan biasa. Orang normal dapat mendengar suara konversasi pada jarak 200 meter.

7. Diskriminasi
Dengan diskriminasi dilakukan penilaian terhadap kemampuan untuk membedakan kata-kata yang bunyinya hampir sama dan digunakan kata-kata yang terdiri dari 1 suku kata, yang bunyinya hampir sama
Pada tuli kondusif, nilai diskriminasinya (presentasi kata-kata yang diulang dengan benar) biasanya berada dalam batas normal. Pada tuli sensori, nilai diskriminasi berada di bawah normal.
8. Timpanometri
Timpanometri merupakan sejenis audiometri, yang mengukur impedansi (tahanan terhadap tekanan) pada telinga tengah. Timpanometri digunakan untuk membantu menentukan penyebab dari tuli kondusif. Prosedur ini tidak memerlukan partisipasi aktif dari penderita dan bisanya digunakan pada anak-anak. Timpanometri terdiri dari sebuah mikrofon dan sebuah sumber suara yang terus menerus menghasilkan suara dan dipasang di saluran telinga. Dengan alat ini bisa diketahui berapa banyak suara yang melalui teling tengah dan berapa banyak suara yang dipantulkan kembali sebagai perubahan tekanan di saluran telinga. Hasil pemeriksaan menunjukkan apakah masalahnya berupa:
Penyumbatan tuba eustachius (saluran yang menghubungkan telinga tengah dengan hidung bagian belakang)
Cairan di dalam telinga tengah
Kelainan pada rantai ketiga tulang pendengaran yang menghantarkan suara melalui telinga tengah
Timpanometri juga bisa menunjukkan adanya perubahan pada kontraksi otot stapedius, yang melekat pada tulang stapes salah satu tulang pendengaran di telinga tengah). Dalam keadaan normal, otot ini memberikan respon terhadap suara-suara yang keras atau gaduh (reflek akustik) sehingga mengurangi penghantaran suara dan melindungi telinga tengah. Jika terjadi penurunan fungsi pendengaran neutral, maka refleks akustik akan berubah atau menjadi lambat. Dengan refleks yang lambat, otot stapedius tidak dapat tetap berkontraski selama telinga menerima suara yang gaduh.
9. Tes dengan Impedance

Tes ini paling obyektif dari tes-tes yang terdahulu. Tes ini hanya memerlukan sedikit kooperasi dari penderita sehingga pada anak-anak di bawah 5 tahun pun dapat dikerjakan dengan baik. Dengan mengubah-ubah tekanan pada meatus akustikus ekterna (hang telinga bagian luar) dapat diketahui banyak
tentang keadaan telinga bagian tengah (kavum timpani). Dari pemeriksaan dengan Impedancemeter
dapat diketahui :
Apakah kendang telinga (membrana timpani) ada lobang
atau tidak
Apakah ada cairan (infeksi) di dalam telinga bagian tengah?
Apakah ada gangguan hubungan antara hidung dan telinga
bagian tengah yang melalui tuba Eustachii.
Apakah ada perlekatan-perlekatan di telinga bagian tengah
akibat suatu radang.
Apakah rantai tulang-tulang telinga terputus karena kece-
lakaan (trauma kepala) atau sebab infeksi.
Apakah ada penyakit di tulang telirigastapes (otosklerosis).
Berapa besar tekanan pada telinga bagian tengah


DERAJAT KETULIAN

Tuli amat berat bila lebih dari 80 db Untuk mengetahui derajat ketulian dapat memakai suara bisik sebagai dasar yaitu sebagai berikut :
Normal bila suara bisik antara 5 - 6 meter
Tuli ringan bila suara bisik 4 meter
Tuli sedang bila suara bisik antara 2 - 3 meter
Tuli berat bila suara bisik antara 0 - 1 meter.
Apabila yang dipakai dasar audiogram nada murni, derajat ketulian ditentukan oleh angka rata-rata intensitas pada frekuensi-frekuensi 500, 1000 dan 2000 Hz yang juga disebut speech frequency. Konversasi biasa besarnya kurang lebih 50 db.Derajat ketulian berdasar audiogram nada murni adalah sebagaiberikut :
Normal antara 0 s/d 20 db.
Tull ringan antara 21 s/d 40 db.
Tull sedang antara 41 s/d 60 db.
Tull berat antara 61 s/d 80 db.


G. Penatalaksanaan Medis

Pengangkatan tulang stapes dan menggantikanya dengan tulang buatan bisa mengembalikan pendengaran penderita. Ada pilihan prosedur, yaitu:
1. Stapedektomi (pengangkatan tulang stapes dan penggantian denga protese)
Beberapa ahli bedah memilih hanya mengambil sebagaian dataran kaki stapes dengan harapan hasilnya lebih baik, tanpa memperhatikan metode yang digunakan protesis dapat membantu menjembatani gp atara inkus dan telinga dalam.
2. Stapedotomi (pembuatan lubang pada tulang stapes untuk memasukkan protese)
3. Penggunaan flurical (suplemen fluorida) yang dapat memperlambat pertumbuhan tulang spongiosa abnormal.
4. Alat Bantu dengar
Untuk rehabilitasi auditori sehingga suara lebih peka untuk diterima. Alat bantu dengar merupakan suatu alat elektronik yang dioperasikan dengan batere, yang berfungsi memperkuat dan merubah sura sehingga komunikasi bisa berjalan dengan lancar. Alat bantu dengar terdiri dari:
Sebuah mikrofon untuk menangkap suara
Sebuah amplifier untuk meningkatkan volume suara
Sebuah speaker untuk menghantarkan suara yang volumenya telah dinaikkkan
Berdasarkan hasil test fungsi pendengaran, seorang audiologis bisa menentukan apakah penderita sudah memerlukan alat bantu dengar atau belum (audiologis adalah seorang profesional kesehatan yang ahli dalam mengenali dan menentukan beratnya gangguan fungsi pendengaran dan pemahaman percakapan pada penderita penurunan fungsi pendengaran sensorineural, Dalam menentukan suatu alat bantu dengar, seorang audiologis biasanya akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Kemampuan mendengar penderita
Aktivitas di rumah maupun di tempt kerja
Keterbtasan fisik
Keadaan medis
Penampilan
Harga
Terdapat dua jenis alat bantu dengar berdasarkan hantarannya, yaitu:
Alat bantu dengar hantarn udara
Alat ini paling banyak digunakan, biasanya dipasang di dalam saluran telinga dengan sebuah penutup kedap udara atau sebuah selang kecil yang terbuka. Alat ini ada 4 macam yaitu:
• Alat bantu dengar yang dipasang di badan, digunakan pada penderita tuli dan merupakan alat bantu dengar yang paling kuat. Alat ini disimpan dalam saku kemeja atau celana dan dihubungkan dengan sebuah kabel ke alat yang dipasang di saluran telinga. Alat ini seringkali dipakai oleh bayi dan anak-anak karena pemakaiannya lebih mudah dan tidak mudah rusak.
• Alat bantu dengar yang dipasang di belakang telinga digunakan untuk penderita gangguan fungsi pendengaran sedang sampai berat. Alat ini dipasang di belakang telinga dan relatif tidak terlihat oleh orang lain.
• CROS (contralaterl routing of signals). Alat ini digunakan oleh penderita yang hanya mengalami gangguan fungsi pendengaran pada salah satu telinganya. Mikrofon dipasang pada telinga yang tidak berfungsi melalui sebuah kabel atau sebuah transmitter radio berukuran mini. Dengan alat ini penderita dapat mendengarkan suara dari sisi telinga yang tidak berfungsi.
• BICROS (Bilateral CROS) Jika telinga yang masih berfungsi juga mengalami penurunan fungsi pendengaran yang ringan, maka suara dari kedua telinga bisa diperkeras dengan alat ini.
Alat bantu dengar hantaran tulang
Alat ini digunakan oleh penderita yang tidak dapat memakai alat bantu dengar hantaran udara, misalnya penderita yang terlahir tanpa saluran telinga atau jika dari telinganya keluar cairan (otore). Alat ini dipasang di kepala, biasanya di belakang telinga dengan bantuan sebuah pita elastis. Suara dihantarkan melalui tulang tengkorak ke telinga dalam. Beberapa alat bantu dengan hantaran tulang bisa ditanamkan pada tulang di belakang telinga.
5. Implan koklea
Dengan mengganti koklea yang mengalami kerusakan. Pencangkokan koklea dilakukan pada penderita tuli berat yang tidak dapat mendengar meskipun telah menggunakan alat bantu dengar. Suatu implan tidak mengembalikan ataupun menciptakan fungsi pendengaran yang normal, tetapi bisa memberikan pemahaman auditoris kepada penderita tuli dan membantu merek dalam memahami percakapan. Implan koklea sangat berbeda dengan alat bantu dengar. Alat bantu dengar berfungsi memperkeras suara. Implan koklea menggantikan fungsi dari bagian telinga dalam yang mengalami kerusakan. Jika fungsi pendengarannya normal, gelombang suara diubah menjadi gelombang listrik oleh telinga dalam. Gelombang listrik ini lalu dikirim ke otak dan kita menerimanya sebagai suara, Implan koklea bekerja dengan cara yang sama. Secara elektonik, implan koklea menemukan bunyi yang berarti dan kemudian mengirimnya ke otak (Brunner&Suddart,2001)

Pengangkatan tulang stapes dan menggantinya dengan tulang buatan bisa mengembalikan pendengaran penderita.
Ada 2 pilihan prosedur, yaitu:
• Stapedektomi (pengangkatan tulang stapes dan penggantian dengan protese)
• Stapedotomi (pembuatan lubang pada tulang stapes untuk memasukkan protese).

Jika penderita enggan menjalani pembedahan, bisa digunakan alat bantu dengar.
(Mediastore.2004)

II Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan
Penggambaran tentang penggambaran masalah telinga sebelumya khususya telinga bagian tengah (termasuk adanya infeksi dan kehilangan pendengaran)
b. Riwayat pengguanaan obat sebelumya (alergi terhadap obat)
c. Riwayat keluarga penyakit telinga (pendengaran)
d. Kaji adanya nyeri pada telinga (otalgia)
e. Kaji adanya eritma
f. Kaji adaya secret pada telinga (otora)
g. Tinnitus
2. Diagnosa Keperawatan
Pre operatif
a. Perubahan persepsi sensori pendengaran berhubungan dengan penurunan resepsi sensori
b. Gangguan komunikasi verbal berhubugan dengan kehilagan cotrol otot fasial
c. Gangguan rasa nyaman; nyeri berhubungan dengan adanya penekanan massa pada tulang teliga.
d. Gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh
e. Resiko tinggi cidera berhubungan dengan adanya vertigo
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya vertigo
g. Ansientas berhubungan dengan adanya krisis situasi
h. Kurang pegetahuan berhubungan dengan tidak mengenal informasi
Post operatif
a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan insisi pada jaringan kulit telinga
b. Gangguan rasa nyaman; nyeri berhubunga dengan pembedaha telinga ekstensif
c. Gagguan harga diri berhubungan dengan perubahan barier kulit dengan adanya jaringan parut
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan sekunder terhadap pembedahan telinga.

DAFTAR PUSTAKA


Brunner & Suddarth 2002. Keperawatan Medical Bedah. Jakarta: EGC.
Dorland, 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC
Dongoes, Marilyan Eet all. 1999 Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi III
Jakarta :EGC
Medicastore.com. 2001

http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/12_Ketulian.pdf/12_Ketulian
http://fkuii.org/tiki-index.php?page=Tinnitus4

Jumat, 27 November 2009

Transfusi Darah

Askep Transfusi Darah
TINJAUAN PUSTAKA

I. KONSEP PENYAKIT
1) DEFINISI
Transfusi darah adalah pemindahan darah atau suatu komponen darah dari seseorang (donor) kepada orang lain (resipien). (www.medicastore.com)
Transfusi darah adalah proses pemindahan darah dari donor yang sehat kepada penderita. (www.pmi_tarakankota_go_id)
TRANSFUSI adalah proses pemindahan darah dan produk darah dari donor ke resipien (pasien). Transfusi merupakan bagian yang penting pada pelayanan kesehatan modern. Penerapan transfusi secara benar akan dapat menyelamatkan nyawa dan meningkatkan kesehatan, namun demikian penularan penyakit infeksi melalui darah dan produk darah harus menjadi perhatian. (www.suara merdeka.com)
Ketika transfuse darah dari orang ke orang dicoba untuk pertama kali, tansfusi hanya berhasil baik pada beberapa keadaan. Seringkali timbul aglutinasi dan hemolisis sel darah merah secara cepat atau lambat, menimbulkan reaksi transfusi yang khas yang kadang-kadang menyebabkan kematian. Segera setelah itu, ditemukan bahwa darah dari orang yang berbeda biasanya mempunyai sifat antigen dan imunitas yang berbeda pula, sehingga antibody dalam plasma darah seseorang akan bereaksi dengan antigen pada permukaan sel darah merah orang lain. Berdasarkan alas an ini, sangat mudah terjadi ketidak cocokan antara darah donor dengan darah resipien. Bila dilakukan tindakan pencegahan yang tepat, kita dapat menentukan sebelumnya apakah antibody dan antigen yang terdapat dalam darah donor dan darah resipien akan bereaksi atau tidak.
Sebelum melakukan transfusi, perlu menentukan golongan darah resipien dan golongan darah donor sehingga dapat tepat sesuai. Ini disebut penggolongan darah, dan dilakukan dengan cara berikut: mula-mula sel darah merah diencerkan dengan saline. Kemudian satu bagian dicampur dengan aglutinin anti-A sedangkan bagian yang lain dicampur dengan agglutinin anti-B. Setelah beberapa menit, campuran tadi diperiksa dibawah mikroskop. Bila sel darah merah menggumpal artinya, “teraglutinasi” kita tahu bahwa telah terjadi reaksi antibody-antigen.
Flebotomi.
Flebotomi meliputi penusukan vena dan pengambilan darah. Dilakukan dengan standart umum. Donor diletakkan dengan posisi setengan berbaring. Kulit pada fosa antekubital dibersihkan dengan preparat yodium. Dipasang tourniket, dan dilakukan tusukan vena. Pengambilan 450 ml darah dilakukan kurang dari 15 menit. Setelah jarum diambil, donor diminta mengangkat lengan keatas, dan dilakukan penekanan dengan kassa steril selama 2-3 menit atau sampai perdarahan berhenti, kemudian dibalut. Donor diminta untuk tetap berbaring sampai mereka siap untuk duduk, biasanya dalam 1-2 menit. Apabila terasa lemah atau pingsan, istirahat harus diperpanjang. Setelah beristirahat mereka diberi cairan dan makanan diruang tunggu dan diminta berdiam diri 15 menit kemudian.
Donor kemudian diminta untuk tidak melepas balutan dan menghindari mengangkat beban berat selama beberapa jam, jangan merokok slama 1 jam dan tidak minum minuman keras selama 3 jam, diminta menambah asupan cairan selama 2 hari dan dianjurkan makan makanan yang seimbang selama 2 minggu.
Label pada kantong darah dan tabung harus diperiksa dengan teliti sebelum dan sesudah pendonoran untuk mencegah terjadinya kesalahan yang dapat berakibat fatal bagi resipien.
Penggolongan darah.
Sel darah merah golongan O tidak mempunyai aglutinogen dan oleh karena itu tidak bereaksi dengan serum anti-A atau anti-B. golongan darah A mempunyai aglutinogen A dan karena itu, beraglutinasi dengan aglutinin anti-A. golongan darah B mempunyai aglutinogen B dan beraglutinasi dengan serum anti-B. golongan darah AB mempunyai aglutinogen A dan B serta beraglutinasi dengan kedua jenis serum.
Golongan darah Rh.
Bersama dengan system golongan darah O-A-B, system Rh juga penting dalam transfuse darah. Perbedaan utama antara system O-A-B dan system Rh adalah sebagai berikut: pada system O-A-B, aglutinin bertanggung jawab atas timbulnya reaksi transfuse yang terjadi secara spontan, sedangkan pada system Rh, reaksi agglutinin spontan hampir tidak pernah terjadi. Malahan, orang mula-mula harus terpajan secara pasif dengan antigen Rh, biasanya melalui transfuse darah atau melalui ibu yang memiliki bayi dengan antigen, sebelum terdapat cukup agglutinin untuk menyebabkan reaksi transfuse yang bermakna.
Darah dan komponen darah.
Seseorang yang membutuhkan sejumlah besar darah dalam waktu yang segera (misalnya karena perdarahan hebat), bisa menerima darah lengkap untuk membantu memperbaiki volume cairan dan sirkulasinya. Darah lengkap juga bisa diberikan jika komponen darah yang diperlukan tidak dapat diberikan secara terpisah.
Komponen darah yang paling sering ditransfusikan adalah packed red blood cells (prc), yang bisa memperbaiki kapasitas pengangkut oksigen dalam darah.
komponen ini bisa diberikan kepada seseorang yang mengalami perdarahan atau penderita anemia berat. Yang jauh lebih mahal daripada prc adalah frozen-thawed red blood cells, yang biasanya dicadangkan untuk transfusi golongan darah yang jarang.
Beberapa orang yang membutuhkan darah mengalami alergi terhadap darah donor. Jika obat tidak dapat mencegah reaksi alergi ini, maka harus diberikan sel darah merah yang sudah dicuci.
Jumlah trombosit yang terlalu sedikit (trombositopenia) bisa menyebabkan perdarahan spontan dan hebat.Transfusi trombosit bisa memperbaiki kemampuan pembekuan darah.
Faktor pembekuan darah adalah protein plasma yang secara normal bekerja dengan trombosit untuk membantu membekunya darah. Tanpa pembekuan, perdarahan karena suatu cedera tidak akan berhenti. Faktor pembekuan darah yang pekat bisa diberikan kepada penderita kelainan perdarahan bawaan, seperti hemofilia atau penyakit von willebrand.
Plasma juga merupakan sumber dari faktor pembekuan darah. Plasma segar yang dibekukan digunakan pada kelainan perdarahan, dimana tidak diketahui faktor pembekuan mana yang hilang atau jika tidak dapat diberikan faktor pembekuan darah yang pekat. Plasma segar yang dibekukan juga digunakan pada perdarahan yang disebabkan oleh pembentukan protein faktor pembekuan yang tidak memadai, yang merupakan akibat dari kegagalan hati.
Meskipun jarang, sel darah putih ditransfusikan untuk mengobati infeksi yang mengancam nyawa penderita yang jumlah sel darah putihnya sangat berkurang atau penderita yang sel darah putihnya tidak berfungsi secara normal.
pada keadaan ini biasanya digunakan antibiotik.
Antibodi (imunoglobulin), yang merupakan komponen darah untuk melawan penyakit, juga kadang diberikan untuk membangun kekebalan pada orang-orang yang telah terpapar oleh penyakit infeksi (misalnya cacar air atau hepatitis) atau pada orang yang kadar antibodinya rendah.
Transfusi diberikan untuk:
a) meningkatkan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen
b) memperbaiki volume darah tubuh
c) memperbaiki kekebalan
d) memperbaiki masalah pembekuan.


Transfusi sering tidak diperlukan karena:
a) kondisi yang tampaknya membutuhkan transfuse, sering dapat dihindari dengan pengobatan dini atau upaya pencegahan.
b) transfuse darah lengkap, sel darah merah, atau plasma sering diberikan untuk menyiapkan secara cepat seorang ibu untuk menjalani pembedahan yang direncanakan, atau untuk memulihkan kondisi tubuh agar dapa keluar dari rumah sakit lebih cepat. Terapi lain, seperti infuse cairan, kadang-kadang lebih murah, lebih aman, dan sama efektifnya.
Jenis Donor Darah.
Ada dua macam donor darah yaitu:
1) Donor keluarga atau Donor Pengganti adalah darah yang dibutuhkan pasien dicukupi oleh donor dari keluarga atau kerabat pasien.
2) Donor Sukarela adalah orang yang memberikan darah, plasma atau komponen darah lainnya atas kerelaan mereka sendiri dan tidak menerima uang atau bentuk pembayaran lainnya. Motivasi utama mereka adalah membantu penerima darah yang tidak mereka kenal dan tidak untuk menerima sesuatu keuntungan.
Syarat – Syarat Calon Donor Darah:
a. Umur 17 – 60 tahun
b. Berat badan 50 kg atau lebih
c. Kadar Hemogblin 12,5 g/dl atau lebih
d. Tekanan darah 120 – 140/80 – 100 mmHg
e. Nadi 50 – 100/menit teratur
f. Tidak berpenyakit jantung, hati, paru-paru, ginjal, kencing manis, penyakit perdarahan, kejang, kanker, penyakit kulit kronis.
g. Tidak hamil, menyusui, menstruasi (bagi wanita)
h. Bagi donor tetap, penyumbangan 5 (lima) kali setahun.
i. Kulit lengan donor sehat.
j. Tidak menerima transfusi darah/komponen darah 6 bulan terakhir.
k. Tidak menderita penyakit infeksi; malaria, hepatitis, HIV/AIDS. 12. Bukan pencandu alkohol/narkoba
l. Tidak mendapat imunisasi dalam 2 – 4 bulan terakhir.
m. Beritahu Petugas bila makan aspirin dalam 3 hari terakhir.

2) ETIOLOGI
a. Leukemia
b. Limfoma
c. Penyakit lain yang menghancurkan atau mengganggu produksi darah.
d. Perdarahan pasca persalinan dengan syok
e. Kehilangan darah saat operasi
f. Anemia berat pada kehamilan lanjut (Hb < 8gr% atau timbul gagal jantung)
Catatan: untuk anemia pada kehamilan awal, obati penyebab anemia dan sediakan hematinik.
3) MANIFESTASI KLINIK
1) Pusing
2) Keletihan
3) Kelelahan
4) Malaise
5) Pucat
6) Fatigue
7) Hb menurun


4) PATOFISIOLOGI
Pada transfusi, seorang donor menyumbangkan darah lengkap dan seorang resipien menerimanya. Tetapi konsep ini menjadi luas. Tergantung kepada keadaan, resipien bisa hanya menerima sel dari darah, atau hanya menerima faktor pembekuan atau hanya menerima beberapa komponen darah lainnya.
transfusi dari komponen darah tertentu memungkinkan dilakukannya pengobatan yang khusus, mengurangi resiko terjadinya efek samping dan bisa secara efisien menggunakan komponen yang berbeda dari 1 unit darah untuk mengobati beberapa penderita. Pada keadaan tertentu, resipien bisa menerima darah lengkapnya sendiri (transfusi autolog).
Proses Transfusi Darah.
a. Pengisian Formulir Donor Darah.
b. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan golongan, tekanan darah dan hemoglobin darah.
c. Pengambilan darah
Apabila persyaratan pengambilan darah telah dipenuhi barulah dilakukan pengambilan darah.
d. Pengambilan darah
e. Pengelolaan darah.
Beberapa usaha pencegahan yang dikerjakan sebelum darah diberikan kepada penderita adalah penyaringan terhadap penyakit diantaranya:
a) Penyakit Hepatitis B
b) Penyakit HIV/AIDS
c) Penyakit Hipatitis C
d) Penyakit Kelamin (VDRL)
Waktu yang di butuhkan pemeriksaan darah selama 1 – 2 jam
f. Penyimpanan Darah
Darah disimpan dalam Blood Bank pada suhu 2 – 6 derajat celcius.

Darah ini dapat dipisahkan menjadi beberapa komponen seperti:
a) PRC
b) Thrombocyt
c) Plasma
d) Cryo precipitat

5) PENATALAKSANAAN
Memberikan darah sebaiknya berdasarkan petunjuk nasional mengenai penggunaan klinis darah, dengan mempertimbangkan kebutuhan resipien tersebut.
Sebelum memberikan darah atau produk darah harap diingat hal-hal berikut:
1) Perbaikan yang diharapkan pada kondisi klinis resipien tersebut.
2) Metode untuk meminimalkan kehilangan darah untuk mengurangi kebutuhan akan transfuse.
3) Terapi alternative yang dapat diberikan, termasuk penggantian cairan intravena atau oksigen, sebelum mengambil keputusan untuk melakukan transfuse.
4) Resiko penularan HIV,Hepatitis, sipilis atau infeksi lainnya melalui produk darah yang tersedia.
5) Keuntungan transfuse dibandingkan dengan resiko untuk resipien tertentu.
6) Pilihan terapi lain jika darah tidak tersedia pada saat itu.
7) Kebutuhan akan orang yang terlatih untuk memantau resipien tersebut dan segera bereaksi jika timbul efek samping.

6) KOMPLIKASI
a) Hemolisis akut.
Jenis reaksi transfuse yang paling berbahaya terjadi apabila darah donor tidak sesuai dengan golongan darah resipien. Antiboby dalam plasma resipien akan segera bergabung dengan antigen pada eritrosit donor, dan sel tersebut segera mengalami hemolisis (dihancurkan) baik dalam sirkulasi maupun dalam system retikuloendotelial. Hemolisis yang paling cepat terjadi pada ketidaksesuaian darah ABO (mis. Jika donor golongan A dan sipien golongan O, yang memiliki antibody anti-A dan anti-B). ketidaksesuai Rh biasanya lebih ringan. Reaksi ini dapat terjadi setelah pemberian paling tidak 10ml darah.
Proses penghancuran dinding sel darah merah sehingga menyebabkan plasma darah yang tidak berwarna menjadi merah. Ini dapat terjadi karena trauma darah sekunder terhadap turbulen atau pompa pemutar.
b) Hemolisis tertunda.
Reaksi hemolisis tertunda biasanya terjadi sekitar 2-14 hari dan ditandai dengan demam, ikterik ringan, penurunan bertahan kadar hemoglobin, dan uji globulin anti-human secara langsung. Jarang terjadi hemoglubinuria, dan biasanya reaksi ini tidak berbahaya. Namun demikian harus diketahui apabila kedua tanda tersebut terjadi, maka hal ini merupakan tanda bahwa pada pemberian transfuse selanjutnya terjadi reaksi hemolosis akut. Pasien harus diingatkan kemungkinan terjadinya reaksi ini dan diminta untuk segera melapor.
c) Syok Anafilaktik.
d) Toksikosis sitrat.
Pada toksikosis sitrat, penyebabnya adalah efek ikatan pada CPD {Calcium Pyrophosphate Deposition (penyakit penimbunan kalsium piropospat)} pada kalsium, serta hiperkalemia, hipokalsemia, asidosis, hipetermia, disfungsi miokard, dan disfungsi hepar atau ginjal menghilangkan factor-faktor.
e) Penyakit infeksi.
Penyakit yang dapat menjadi komplikasi dari transfuse antara lain:
a. Penyakit Hepatitis B & C
Hepatitis merupakan resiko penting terapi transfusi, baik untuk darah maupun sebagian besar komponen darah. Darah dan produk darah yang diperoleh dari donor yang dibayar mempunyai resiko yang lebih tinggi daripada yang diperoleh dari donor sukarela. Produk darah hasil pengumpulan juga memberikan resiko yang lebih tinggi. Harus dilakukan uji untuk mendeteksi virus hepatitis B, begitu pula hepatitis C.
b. Penyakit HIV/AIDS
c. Penyakit Kelamin (VDRL)
f) Alergi.
Sebagian besar transfusi adalah aman dan berhasil; tetapi reaksi ringan kadang bisa terjadi, sedangkan reaksi yang berat dan fatal jarang terjadi. Reaksi yang paling sering terjadi adalah demam dan reaksi alergi (hipersensitivitas), yang terjadi sekitar 1-2% pada setiap transfusi.
Gejalanya berupa:
- gatal-gatal
- kemerahan
- pembengkakan
- pusing
- demam
- sakit kepala.
Gejala yang jarang terjadi adalah kesulitan pernafasan, bunyi mengi dan kejang otot. Yang lebih jarang lagi adalah reaksi alergi yang cukup berat.
g) Emboli udara.
h) Gangguan keseimbangan elektrolit.
i) Kontaminasi bakteri.
j) Penyakit graft-versus-host.
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi, yang terutama mengenai orang-orang yang mengalami gangguan sistem kekebalan karena obat atau penyakit. Pada penyakit ini, jaringan resipien (host) diserang oleh sel darah putih donor (graft). Gejalanya berupa demam, kemerahan, tekanan darah rendah, kerusakan jaringan dan syok.
Catatan: ± 5% dari semua transfuse disertai salah satu efek samping. Jika timbul reaksi (efek samping), segera dihentikan dan beritahu dokternya. Jangan cabut jarumnya. Sebaiknya ganti dengan cairan yang dapat diterima seperti NaCl normal.

II. KONSEP KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1) Wawancara donor.
Untuk melindungi baik donor maupun resipien, semua donor harus diperiksa dan diwawancarai seblum mereka diperbolehkan mendonorkan darahnya. Pertanyaannya harus sopan namun yang penting harus lengkap, dan pewawancara yang telah berpengalaman akan mengetahui cara menanyakan pertanyaan sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh jawaban selngkap mungkin. Donor harus dalam keadaan sehat dan harus bebas dari factor dibawah:
a) Riwayat hepatitis virus, sekarang atau terdahulu, riwayat kontak dengan pasien hepatitis atau dialysis dalam 6 bulan terakhir.
b) Riwayat memperoleh transfuse darah atau suntikan setiap fraksi darah kecuali albumin serum atau imun globulin dalam 6 bulan terakhir.
c) Riwayat sipilis atau malaria yang tidak diobati karena penyakit ini dapat ditularkan melalui transfuse meskipun sudah setahun sebelumnya. Orang yang sudah bebas gejala dan bebas terapi selama 3 tahun setelah menderita malaria diperbolehkan menjadi donor.
d) Riwayat atau terdapat bukti penyalahgunaan obat dengan cara menyuntik sendiri, karena banyak pengguna obat intravena adalah karier hepatitis dan resiko terjadi AIDS tinggi pada kelompok ini.
e) Riwayat kemungkinan pajanan virus AIDS. Uji untuk mengetahui adanya antibody terhadap virus AIDS kini telah tersedia. Populasi yang beressiko tinggi adalah mereka yang melakukan seks anal, yang melakukan kontak seks dengan banyak pasangan, pengguna obat intravena, pasangan seks merupakan orang yang beresiko tinggi AIDS, dan penderita hemofilia.
f) Infeksi kulit, karena kemungkinan mengkontaminasi jarum flebotomi.
g) Riwayat asma yang baru, urtikaria, atau alergi obat karena hipersensitifitas dapat ditransmisi secara pasif ke resipien.
h) Kehamilan dalam 6 bulan terakhir, karena kebutuhan nutrisi yang tinggi pada ibu hamil.
i) Riwayat pencabutan gigi atau pembedahan mulut dalam 72 jam karena prosedur ini berhubungan dengan bakteremia.
j) Riwayat tato yang baru, karena ada resiko hepatitis.
k) Riwayat terpajan penyakit menular dalam 3 minggu, karena ada resiko penularan ke resipien.
l) Imunisasi yang baru, karena dapat mentransmisikan organisme hidup (masa tunggu 2 minggu utnuk organisme hidup yang dilemahkan, 1 bulan untuk rubella, 1 tahun untuk rabies)
m) Adanya kanker, karena belum diyakini kemungkinan transmisinya.
n) Riwayat donor darah dalam 56 hari terakhir.
2) Kaji riwayat kesehatan, baik resipien maupun pendonor.
3) Kaji pengetahuan klien tentang transfuse darah dan tingkat kecemasan klien.
4) Ketika klien menjalani transfusi darah, kaji prioritas keperawatannya yaitu adanya infeksi, periksa tempat penusukan jarum dengan hati-hati, dengan adanya kemerahan atau manifestasi lain dari infeksi.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen sel yang diperlukan untuk pengiriman oksigen atau nutrien ke sel.
2. Gangguan pertukaran gas behubungan dengan penurunan kapasitas pembawa O2 darah.
3. Infeksi behubungan dengan tidak adekuat pertahanan sekunder.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai oksigen (pengirim) dan kebutuhan.

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT SYOK HIPOVOLEMIK

MAKALAH
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
SYOK HIPOVOLEMIK


BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Syok adalah kondisi hilangnya volume darah sirkulasi efektif. Kemudian diikuti perfusi jaringan dan organ yang tidak adekuat, yang akibat akhirnya gangguan metabolik selular. Pada beberapa situasi kedaruratan adalah bijaksana untuk mengantisipasi kemungkinan syok. Seseorang dengan cidera harus dikaji segera untuk menentukan adanya syok. Penyebab syok harus ditentuka (hipovolemik, kardiogenik, neurogenik, atau septik syok).(Bruner & Suddarth,2002).


B. TUJUAN
Makalah ini disusun agar mahasiswa dapat:
1. Mengetahui pengertian, etiologi, manifestasi klinis dan patofisiologi dari syok Hipovolemik
2. Menyebutkan jenis-jenis hipovolemik
3. Melakukan asuhan keperawatan dengan syok hipovolemik


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Syok adalah kondisi hilangnya volume darah sirkulasi efektif. Kemudian diikuti perfusi jaringan dan organ yang tidak adekuat, yang akibat akhirnya gangguan metabolik selular. Pada beberapa situasi kedaruratan adalah bijaksana untuk mengantisipasi kemungkinan syok. Seseorang dengan cidera harus dikaji segera untuk menentukan adanya syok. Penyebab syok harus ditentuka (hipovolemik, kardiogenik, neurogenik, atau septik syok).(Bruner & Suddarth,2002).
Syok adalah suatu sindrom klinis kegagalan akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis (Toni Ashadi,2006).
Syok hipovolemik diinduksi oleh penurunan volume darah, yang terjadi secara langsung karena perdarahan hebat atau tudak langsung karena hilangnya cairan yang berasal dari plasma (misalnya, diare berat, pengeluaran urin berlebihan, atau keringat berlebihan) (sherwood, )
Syok dapat didefinisikan sebagai gangguan sistem sirkulasi yang menyebabkan tidak adekuatnya perfusi dan oksigenasi jaringan. Bahaya syok adalah tidak adekuatnya perfusi ke jaringan atau tidak adekuatnya aliran darah ke jaringan. Jaringan akan kekurangan oksigen dan bisacedera.(Az Rifki, 2006).
B. Etiologi
Menurut Toni Ashadi, 2006, Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler, misalnya terjadi pada:
1. kehilangan darah atau syok hemorargik karena perdarahan yang mengalir keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptur limpa, dan kehamilan ektopik terganggu.
2. trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah yang besar. Misalnya: fraktur humerus menghasilkan 500-1000 ml perdarahan atau fraktur femur menampung 1000-1500 ml perdarahan.
3. kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:
a. Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis
b. Renal: terapi diuretik, krisis penyakit addison
c. Luka bakar (kompustio) dan anafilaksis

C. Manifestasi klinis
Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respon kompensasi. Pasian muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang vasokontriksinya dan takikardia. Kehilangan volume yang cukup besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat. (Toni Ashadi, 2006).
Apabila syok talah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan hipovolemia, penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam beberapa menit. Tanda-tanda syok adalah menurut Toni Ashadi, 2006 adalah:
1. Kilit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.
2. Takhikardi: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respon homeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke homeostasis penting untuk hopovolemia.peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi mengurangi asidosis jaringan.
3. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah sistemik dan curah jantung, vasokontriksi perifer adalah faktor yang esensial dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak dibawah 70 mmHg.
4. Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik. Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30ml/jam.

D. Patofisiologi
Tahap-tahap syok:
Karena sifat-sifat khas dari syok sirkulasi dapat berubah pada berbagai derajat keseriusan, Menurut Guyton, (1997) syok dibagi dalam tida tahap utama yaitu:
a. Tahap nonprogresif (atau tahap kompensasi), sehingga mekanisme kompensasi sirkulasi normal akhirnya akan menyebabkan pemulihan sempurna tanpa dibantu terapi dari luar.
b. Tahap progresif, ketika syok menjadi semakin buruk sampai timbul kematian.
c. Tahap ireversibel, ketika syok telah jauh berkembang sedemikian rupa sehingga semua bentuk terapi yang diketahui tidak mampu lagi menolong penderita, meskipun pada saat itu, orang tersebut masih hidup.
E. Pathway

F. Penatalaksanaan
a. Pastikan jalan nafas pasien dan nafas dan sirkulasi dipertahankan. Beri bantuan ventilator tambahan sesuai kebutuhan.
b. Perbaiki volume darah sirkulasi dengan penggantian cairan dan darah cepat sesuai ketentuan untuk mengoptimalkan preload jantung, memperbaiki hipotensi, dan mempertahankan perfusi jaringan.
1) Kateter tekan vena sentra dimasukkan dalam atau didekat atrium kanan untuk bertindak sebagai petunjuk penggantian cairan. Pembacaan tekanan vena sentral kontinu (CVP) memberi petunjuk dan derajat perubahan dari pembacaan data dasar; kateter juga sebagai alat untuk penggantian volume cairan darurat.
2) Jarum atau kateter IV diameter besar dimasukkan kedalam vena perifer. Dua atau lebih kateter mungkin perlu untuk penggantiaqn cairan cepat dan pengembalian ketidakstabilan hemodinamik; penekanan pada penggantian volume.
a) Buat jalur IV diameter besar dimasukkan ke vena periver. Dua tau lebih kateter mungkin perlu untuk penggantian cairan cepat dan pengembalian ketidakstabilan hemodinamik; penekanan pada penggantian volume.
b) Ambil darah untuk spesimen; garis darah arteri, pemeriksaan kimia, golongan darah dan pencocokan silang, dan hemtokrit.
c) Mulai infus IV dengan cepat sampai CVP meningkat pada tingkat pada tingkat yang memuaskan diatas pengukuran dasar atau sampai terdapat perbaikan pada kondisi klinis pasien.
3) Infus larutan Ringer Laktat digunakan pada awal penangana karena cairan ini mendekati komposisi elektrolit plasma, begitu juga dengan osmolalitasnya, sediakan waktu untuk pemeriksaan golongan darah danm pencocockan silang, perbaiki sirkulasi, dan bertindak sebgai tambahan terapi komponen darah.
4) Mulai tranfusi terapi komponen darah sesuai program, khususnya saat kehilangan darah telah parah atau pasien terus mengalami hemoragi.
5) Kontrol hemoragi; hemoragi menyertai status syok. Lakukan pemeriksaan hematokrit sering bila dicurigai berlanjutnya perdarahan
6) Pertahankan tekanan darah sistolik pada tingkat yang memuaskan dengan memberi cairan dan darah sesuai ketentuan.
c. Pasang kateter urine tidak menetap: catat haluaran urine setiap 15-30 menit, volume urine menunjukkan keadekuatan perfusi ginjal.
d. Lakukan pemeriksaan fisik cepat untuk menentukan penyebab syok.
e. Pertahankan surveilens keperawatan terus menerus terhadap pasien total-tekanan darah, denyut jantung, pernafasan, suhu kulit, warna, CVP, EKG, hematokrit, Hb, gambaran koagulasi, elektrolit, haluaran urine-untuk mengkaji respon pasien terhadap tindakan. Pertahankan lembar alur tentang parameter ini; analisis kecenderungan menytakan perbaikan atau pentimpangan pasien.
f. Tinggikan kaki sedikit untuk memperbaiki sirkulasi serebral lebih baik dan mendorong aliran darah vena kembali kejantung (posisi ini kontraindikasi pada pasien dengan cidera kepala). Hindarkan gejala yang tidak perlu.
g. Berikan obat khusus yang telah diresepkan (misalnya inotropik seperti dopamen) untuk meningkatkan kerja kardiovaskuler.
h. Dukung mekanisme devensif tubuh
a. Tenangkan dan nyamankan pasien: sedasi mungkin perlu untuk menghilangkan rasa khawatir.
b. Hilangkan nyeri dengan kewaspadaan penggunaan analgesik atau narkotik.
c. Pertahankan suhu tubuh.
1) Terlalu panas menimbulkan vasodilatasi yang merupakan mekanisme kompensasi tubuh dari vasokontriksi dan meningkatnya hilangnya caiiran karena perspirasi.
2) Pasien yang mengalami septik harus dijaga tetap dingin: demam tinggi meningkatkan efek metabolik selular terhadap syok.



G. Komplikasi
H. Primari survay
Pemeriksaaan jasmaninya diarahkan kepada diagnosis cidera yang mengancam nyawa dan meliputi penilaian dari A,B,C,D,E. Mencatat tanda vital awal (baseline recordings) penting untuk memantau respon penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi urin dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan menyusul bila keadaan penderita mengijinkan.
1. Airway dan breathing
prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.
2. Sirkulasi - kontrol perdarahan
termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang jelas terlihat, memperoleh akses intra vena yang cukup, dan menilai perfusi jaringan. Perdarahan dari luka luar biasanya dapat dikendalikan dengan tekanan langsung pada tempat pendarahan. PASG (Pneumatick Anti Shock Garment) dapat digunakan untuk mengendalikan perdarahan dari patah tulang pelvis atau ekstremitas bawah, namun tidak boleh menganggu resusitasi cairan cepat. Cukupnya perfusi jaringan menentukan jumlah cairan resusitasi yang diperlukan. Mungkin diperlukan operasi untuk dapat mengendalikan perdarahan internal.
3. disability – pemeriksaan neurologi
dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil, fungsi motorik dan sensorik. Informasi ini bermanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan.perubahan fungsi sistem saraf sentral tidak selalu disebabkan cidera intra kranial tetapi mungkin mencerminkan perfusi otak yang kurang. Pemulihan perfusi dan oksigenasi otak harus dicapai sebelum penemuan tersebut dapat dianggap berasal dari cidera intra kranial.
4. Exposure – pemeriksaan lengkap
setelah mengurus prioritas- prioritas untuk menyelamatkan jiwanya, penderita harus ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-ubun sampai jari kaki sebagai bagian dari mencari cidera. Bila menelanjangi penderita, sangat penting mencegah hipotermia.
5. Dilasi lambung – dikompresi.
Dilatasi lambung sering kali terjadi pada penderita trauma, khususnya pada anak-anak dan dapat mengakibatkan hipotensi atau disritmia jantung yang tidak dapat diterangkan, biasanya berupa bradikardi dari stimulasi saraf fagus yang berlabihan. Distensi lambung membuat terapi syok menjadi sulit. Pada penderita yang tidak sadar distensi lambung membesarkan resiko respirasi isi lambung, ini merupakan suatu komplikasi yang bisa menjadi fatal. Dekompresi lambung dilakukan dengan memasukan selamh atau pipa kedalam perut melalui hidung atau mulut dan memasangnya pada penyedot untuk mengeluarkan isi lambung. Namun, walaupun penempatan pipa sudah baik, masih mungkin terjadi aspirasi.
6. Pemasangan kateter urin
Katerisasi kandung kenving memudahkan penilaian urin akan adanya hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urine. Darah pada uretra atau prostad pada letak tinggi, mudah bergerak, atau tidak tersentuh pada laki-laki merupakan kontraindikasi mutlak bagi pemasangan keteter uretra sebelum ada konfirmasi kardiografis tentang uretra yang utuh.
I. Skunderu survey
Harus segera dapat akses kesistem pembulu darah. Ini paling baik dilakukan dengan memasukkan dua kateter intravena ukuran besar (minimun 16 gaguage) sebelum dipertimbangkan jalur vena sentral kecepatan aliran berbanding lirus dengan empat kali radius kanul, dan berbanding terbalik dengan panjangnya (hukum poiseuille). Karena itu lebih baik kateter pendek dan kaliber besar agar dapat memasukkan cairan terbesar dengan cepat.
Tempat yang terbaik untuk jalur intravena bagi orang dewasa adalah lengan bawah atau pembulu darah lengan bawah. Kalau keadaan tidak memungkunkan pembulu darah periver, maka digunakan akses pembulu sentral (vena-vena femuralis, jugularis atau vena subklavia dengan kateter besar) dengan menggunakan tektik seldinger atau melakukan vena seksi pada vena safena dikaki, tergantung tingkat ketrampilan dokternya. Seringkali akses vena sentral didalam situasi gawat darurat tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna atau pu tidak seratus persen steril, karena itu bila keadaan penderita sedah memungkinya, maka jalur vena sentral ini harus diubah atau diperbaiki.
Juga harus dipertimbangkan potensi untuk komplikasi yang serius sehubungan dengan usaha penempatan kateter vena sentral, yaitu pneumo- atau hemotorak, pada penderita pada saat itu mungkin sudah tidak stabil.
Pada anak-anak dibawah 6 tahun, teknik penempatan jarum intra-osseus harus dicoba sebelum menggunakan jalur vena sentral. Faktor penentu yang penting untuk memilih prosedur atau caranya adalah pengalaman dan tingkat ketrampilan dokternya.
Kalau kateter intravena telah terpasang, diambil contoh darah untuk jenis dan crossmatch, pemerikasaan laboratorium yang sesuai, pemeriksaan toksikologi, dan tes kehamilan pada wanita usia subur. Analisis gas darah arteri juga harus dilakukan pada saat ini. Foto torak haris diambil setelah pemasangan CVP pada vena subklavia atau vena jugularis interna untuk mengetahui posisinya dan penilaian kemungkinan terjadinya pneumo atau hemotorak.

J. Tersieri survey
Terapi awal cairan
Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan ini mengisi intravaskuler dalam wakti singkat dan juga menstabilkan volume vaskuler dengan cara menggantikan kehilangan cairan berikutnya kedalam ruang intersisial dan intraseluler. Larutan Ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua. Walaupun NaCL fisiologis merupakan pengganti cairan terbaik namun cairan ini memiliki potensi untuk terjadinya asidosis hiperkloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila fungi ginjalnya kurang baik.

Tabel 1. Jenis-jenis Cairan Kristaloid untuk Resusitasi
Cairan Na+ (mEq/L) K+ (mEq/L) Cl- (mEq/L) Ca++ (mEq/L) HCO3 (mEq/L) Tekanan Osmotik mOsm/L
Ringer Laktat 130 4 109 3 28* 273

Ringer Asetat 130 4 109 3 28: 273

NaCl 0.9% 154 - 154 - - 308

* sebagai laktat

: sebagai asetat

K. Diagnosa
1. Gangguan pola nafas tidak efektif b/d penurunan ekspansi paru.
2. Perubahan perfusi jaringn b/d penurunan suplay darah ke jaringan.
3. Nyeri b/d trauma hebat.
4. Gangguan keseimbangan cairan b/d mual, muntah.
5. Gangguan pola eliminasi urine b/d Oliguria.
6. Kurangnya pengetahuan b/d kurangnya informasi mengenai pengobatan.

L. Daftar pustaka
Toni Ashadi, (2006). Syok Hipovolemik. (online). Http:// www. Medicastore. Com/med/.detail-pyk. Phd?id. (diakses 12 Desember 2006).
Az Rifki, (2006). Kontrol terhadap syok hipovolemik. (online).Http://www. Kalbefarma. Com / file/cdk/15 penatalaksanaan. (diakses 12 Desember 2006).
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. (Edisi 8, Vol.3). EGC, Jakarta.
Doenges, E, Marilynn, Mary Frances Moorhause, Alice C. Geissler. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. (Edisi 3). EGC, Jakarta.
Price, A, Sylvia & Lorraine M. Willson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. (Edisi 4). EGC, Jakarta

Rabu, 25 November 2009

KGD Jiwa

ASUHAN KEPERAWATAN EMERGENCY PADA PASIEN DENGAN TENTAMEN SUICIDE
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena merupakan prilaku untuk mengakhiri hidupnya ( Stuaret dan Laraya, 1998 ). Selain itu adanya stigma masyarakat bahwa kecendrungan bunuh diri adalah karena keturunan ( kliat, 1993 ). Dimana individu tersebut oleh masyarakat sudah di cap dan tidak perlu ditolong. Penyebab prilaku bunuh diri pada individu gangguan jiwa karena stres yang tinggi dan kegagalan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah yang dihadapi ( kliat, 1993 ).
Penelitian black dan winakur ( 1990 ) bahwa lebih dari 90% tiap menit individu mengalami gangguan jiwa melakukan bunuh diri ( stuaret dan layara, 1998 ) dan lebih dari 90% orang dewasa dengan gangguan jiwa mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri ( stuaret dan layara, 1998). Sedangkan penelitian yang dilakukan westa ( 1996 ) bahwa percobaan bunuh diri di UGD RS Sanglah Bali pada individu gangguan jiwa adalah dewasa muda, wanita dan alat yang digunakan untuk usaha bunuh diri adalah zat pembasmi serangga. ( http:// members.tripod.com/Cyberpsy/p13.htm )
Dalam sejarah manusia yang panjang, tindakan bunuh diri dilatari motif yang amat beragam. Adolf Hitler dan kekasihnya, Eva von Braun, bunuh diri setelah Jerman kalah. Keduanya menelan racun maut yang mengantar mereka ke alam baka. Keluarga Hemingway mencuarkan fenomena lain tentang bunuh diri. Soalnya, bukan hanya sastrawan Ernest Hemingway yang bertindak demikian di dalam keluarga terkenal itu. Kakek dan pamannya melakukan hal yang sama. Tahun 1996 Margaux Hemingway, supermodel yang rupawan, memperpanjang deret bunuh diri di dalam keluarga itu. Margaux bunuh diri, meneruskan apa yang telah dilakukan keluarganya.
Semua perilaku bunuh diri adalah serius apapun tujuannya. Dalampengkajian perilaku bunuh diri, lebih ditekankan pada metoda letalitas yang dilakukan atau digunakan. Walaupun semua ancaman dan percobaan bunuh diri harus ditanggapi secara serius, perhatian yang lebih waspada dan seksama menjadi indikasi jika seseorang mencoba bunuh diri dengan cara yang paling mematikan seperti pistol, menggantung diri, atau loncat. Cara yang kurang mematikan seperti karbon mono oksida dan minum obat dalam jumlah berlebihan, yang memberikan waktu untuk mendapatkan bantuan saat bunuh diri telah dilakukan. Manusia tidak hanya memiliki insting untuk hidup, tetapi juga insting untuk mati. Keduanya muncul tergantung keadaan yang melingkupi jiwa manusia. Ketika kebahagiaan dan kesenangan menguasai, insting hidup manusialah yang muncul. Namun ketika hidup hanyalah kesusahan yang penuh keputusasaan, keinginan untuk segera mati pun akan segera muncul.
Kasus bunuh diri di Indonesia, menurut Kristi, lebih banyak dipicu oleh kondisi lingkungan makro yang buruk atau situasi kehidupan bernegara yang kacau-balau. Keadaan ini menyebabkan orang frustrasi dan putus harapan karena merasa tidak memiliki masa depan hidup di Indonesia. Dalam situasi tersebut, seseorang cenderung menjadi orang yang kecil hati dan cepat menyerah menghadapi realitas hidup. Realitas sosial di Indonesia membuat hidup kita tidak nyaman karena begitu dahsyatnya ketidakadilan.
Ada yang berpendapat dalam beberapa hal dan dalam ukuran yang sangat umum, bunuh diri kerap merupakan refleksi dari kerawanan psikologi sosial. Ada individu yang tak mampu menahan tekanan sosial ekonomi yang demikian dahsyat. Mereka mudah tersinggung dan bisa merasa hancur hanya karena masalah yang bagi pandangan umum "kecil" atau "sepele". Seseorang mengambil keputusan bunuh diri hanya karena kakaknya mengganti saluran televisi. Seseorang memutuskan bunuh diri hanya karena uang sekolahnya kurang Rp 1.500 dari semestinya.
Untuk warga yang berdiam di kota-kota besar, sebutlah Jakarta, yang kerap menjadi ukuran keberhasilan adalah sukses dalam hal-hal tertentu. Ukuran sukses kemudian adalah kaya, menjadi pejabat, atau terkenal. Lalu, lahir semacam pandangan sempit bahwa mereka yang tidak mampu, yang gagal dan lemah, seolah tak mempunyai hak hidup. Maka, jalan paling pendek mengakhiri hidup yang dianggap sia-sia itu adalah bunuh diri.
Masyarakat boleh jadi menyesalkan dan bahkan menghakimi pelaku bunuh diri itu. Mungkin tidak banyak di antara kita yang berpikir bahwa tindakan bunuh diri bisa menjadi akumulasi dari banyak hal. Dan, urusan yang kelihatan sepele, misalnya uang Rp 1.500 dan mengganti saluran televisi, hanya merupakan pemicu. Mungkin pula tidak banyak di antara kita yang mau tahu atau mau peduli pada orang-orang yang kerap tampak putus asa, frustrasi, dan bermuram durja. Di kota sebesar Jakarta, berapa banyak orang yang bersedia menyapa orang-orang yang tengah dibelit kesulitan hidup, berapa banyak warga yang bersedia dengan sabar mendengarkan keluh kesah mereka?
Psikolog Sartono Mukadis melihat tindakan bunuh diri dengan perspektif lain. Ia mengatakan, banyak teori tentang mengapa orang nekat bunuh diri. Ada bunuh diri absurditas, bunuh diri eksistensialis, bunuh diri patologis, bahkan bunuh diri berlandaskan romantisme dan heroisme. Namun, itu hanya teori sebab sampai sekarang pun bunuh diri tetap misteri dan penjelasannya pun kasus per kasus.
Begitu pun bagi Sartono, bunuh diri adalah hal yang luar biasa. Bayangkan, orang mengakhiri hidup dengan kesadaran penuh, bahkan ada yang didasari pertimbangan bahwa dia akan memperoleh sesuatu yang belum pernah ia dapat seumur hidupnya. Yakni, bahwa setelah mati, ia akan ditangisi dan dihormati. "Luar biasa sebab dia bisa berwenang menghentikan hidupnya sendiri," kata Sartono. "Saya belum melihat ini pada hewan, tetapi jelas tidak terjadi pada tumbuhan."
Pengamat masalah perkotaan Darmaningtyas menyarankan, negara seharusnya memfasilitasi relasi sosial yang lebih sehat dalam masyarakat. Relasi sosial yang sehat mensyaratkan terpenuhinya kebutuhan dasar, termasuk pendidikan dasar dan kesehatan. Selain itu, dibutuhkan lingkungan fisik dengan ruang-ruang publik yang memungkinkan orang berinteraksi secara normal.
Darmaningtyas meneliti bunuh diri di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai skripsi di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada tahun 1990. Ia kemudian menerbitkannya sebagai buku Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunung Kidul Tahun 2002 yang menjelaskan yang terjadi di lingkungan permukiman padat dan kumuh adalah reproduksi kemiskinan ekonomi dan sosial. Masyarakat pada kalangan ini terisolasi dari informasi dan termarjinalkan secara ekonomi dan sosial. Masalah kian berat karena mereka harus memikul beban sendiri di tengah ketakpedulian lingkungan dan ketakpekaan negara.
Psikolog Drajat S Soemitro melihat dalam kehidupan perkotaan, masyarakat makin individualis. Hubungan interpersonal semakin fungsional. Akibatnya, tekanan isolasi dan keterasingan kian kuat, orang makin mudah kesepian di tengah keramaian.
Pandangan lain berasal dari "Bapak Sosiologi" Emile Durkheim. Dalam karyanya yang terkenal, Suicide (1897), Durkheim menyebutkan, masyarakat dalam tiap momen sejarah mempunyai kecenderungan yang definit untuk bunuh diri. Ia membagi fenomena bunuh diri atas tiga faktor. Pertama, faktor keegoisan yang menemukan aktualitasnya pada bunuh diri yang memantulkan putus asa pribadi. Kedua, faktor altruistik: seseorang bunuh diri karena hendak mempertahankan martabat atau nilai-nilai tinggi di masyarakat. Ketiga, faktor anonim atau faktor yang bukan karena aspek keegoisan maupun faktor altruistik.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Diharapakan mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan kegawat daruratan pada pasien dengan tentamen suicide
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian, etiologi, manifestasi klinik dan patofisiologi dari tentamen suicide
b. Mahasiswa mampu membuat asuhan keperawatan tentamen suicide.



BAB II
TINJAUAN TEORI
A. PENGERTIAN
Tentamen suicide adalah suatu tindakan untuk mencoba mengakhiri hidupnya sendiri. (http:/www.sheppard86.blogspot.com)
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada seseorang disebabkan karena stress yang tinggi dan kegagalan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah (Keliat, 1993)
Sigmund Freud melalui psikoanalisisnya memberikan definisi singkat terhadap bunuh diri sebagai tindakan agresi terhadap diri sendiri karena dorongan agresi keluar terhambat oleh tindakan orang-orang terdekat atau lingkungan sekitar pelaku bunuh diri.
Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya (Stuart dan Laraia, 1998).
Bunuh diri adalah setiap aktifitas yang jika tidak dicegah dapat menimbulkan kematian.(stuart and sunden, 1995)
Bunuh diri merupakan tindakan untuk mengambil hidupnya sendiri. ( Dorland, 2002)
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada seseorang disebabkan karena stress yang tinggi dan kegagalan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah (Keliat, 1993).

B. ETIOLOGI
Menurut mustika slide.com bunuh diri dapat disebabkan oleh banyak hal antara lain :
a. Kegagalan untuk beradaptasi sehingga tidak dapat untuk menghadapi stress
b. Perasaan terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/ gagal untuk melakukan hubungan yang berarti.
c. Perasaan marah atau bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman bagi diri sendiri.
d. Cara untuk mengakhiri keputusasaan.
e. Tangisan minta tolong.
f. Dipermalukan didepan umum.
g. Kehilangan pekerjaan.

C. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala dari bunuh diri dapat dilihat dari perilaku di bawah ini, antara lain :
a) Keputusasaan
b) Celaan terhadap diri sendiri
c) Perasaan gagal dan tidak berharga
d) Alam perasaan depresi
e) Agitasi dan gelisah
f) Insomnia yang menetap
g) Penurunan berat badan
h) Berbicara lamban
i) Keletihan
j) Menarik diri dari lingkungan social.
k) Pernah melakukan percobaan bunuh diri.
l) Memberikan pernyataan ingin mati.
m) Perubahan perilaku secara mendadak, mudah marah, sifat tidak menentu.
n) Tidak memerdulikan penampilan.

 Perilaku bunuh diri biasanya dibagi menjadi tiga kategori :
a. Ancaman bunuh diri
Peringatan verbal dan non verbal bahwa orang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang tersebut mungkin menunjukkan secara verbal bahwa ia tidak akan lama lagi berada disekitar kita atau mungkin akan mengkomunikasikan secara nonverbal melalui pemberian hadiah, merevisi wasiatnya, dan sebagainya. Pesan – pesan ini harus dipertimbangkan dalam konteks peristiwa kehidupan terakhir. Ancaman menunjukkan ambivalensi seseorang tentang kematian. Kurangnya respons positif dapat ditafsir sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri.
b. Upaya bunuh diri
Semua tindakan yang diarahkan pada diri yang dilakukan oleh individu yang dapat mengarah pada kematian jika tidak dicegah.
c. Bunuh diri
Mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau terabaikan atau diabaikan. Orang yang melakukan upaya bunuh diri dan yang tidak benar – benar ingin mati mungkin akan mati jika tanda – tanda tersebut tidak diketahui tepat pada waktunya.

D. PATOFISIOLOGI

Orang yang siap bunuh diri adalah orang yang merencanakan kematian dengan tindak kekerasan, mempunyai rencana spesifik, dan mempunyai alat untuk melakukannya.
Metode bunuh diri sangatlah beragam antara lain :
a. Self poisoning ( meracuni diri sendiri biasanya memakai obat serangga/ insektisida)
Ada dua macam insektisida yang paling banyak digunakan untuk bunuh diri adalah:
1. insektisida hidrokarbo khlorin (IHK = chlorinated hydrocarbon)
2. insektisida fosfat organic (IFO = organo phosphate insecticide).
Yang paling sering digunakan adalah IFO yang pemakaiannya terus menerus meningkat. Sifat - sifat dari IFO adalah insektisida poten yang paling banyak digunakan dalam pertanian dengan toksisitas yang tinggi. Salah satu derivatnya adalah Tabun dan Sarin. Bahan ini menembus kulit yang normal (intact), juga dapat diserap di paru dan saluran makanan, namun tidak berakumulasi dalam jaringan tubuh seperti halnya golongan IHK.
Macam – macam IFO adalah Malathion (Tolly), Paraathion, Diazinon, Basudin, Paraoxon dan lain – lain. IFO sebenarnya dibagi 2 macam yaitu IFO murni dan golongan carbamate. Salah satu contoh golongan carbamate adalah baygon.
b. Gantung diri
c. Membakar diri
d. Menceburkan diri
e. Menabrakkan diri ke jalan
f. Memotong urat nadi

E. Pemeriksaan diagnostic
Self Poisoning ( meracuni diri sendiri, keracunan)
Pemeriksaan lab :
 Analitik darah
 Urin
 Muntahan
 Pemeriksaan .
o Laboratorik.
Pengukuran kadar KhE dalam sel darah merah dan plasma, penting untuk memastikan diagosis keracunan IFO (Organo Phospat Inseksitisida) akut maupun kronik (menurun sekian % dari harga normal).
Keracunan akut : ringan : 40 – 70 %
sedang : 20 – 40 %
berat : < 20 %.
o Patologi Anatomi (PA)
Pada keracunan akut, hasil pemeriksaan patologi biasanya tidak khas. Sering hanya ditemukan edema paru, dilatasi kapiler, hiperemi paru, otak dan organ – organ lain.



F. Penatalaksanaan Medis
Pengkajian
Penilaian klinis keracunan merupakan hal utama pada permulaan keracunan yaitu : Penilaian kesadaran dan respirasi. Kesadaran merupakan salah satu petunjuk penting untuk mengukur berat ringannya keracunan, tingkat kesadaran dalam toksikologi dibagi menjadi 4 tingkat yaitu :
• Tingkat I : Pasien ngantuk tapi mudah diajak bicara
• Tingkat II : Penderita dalam keadaan spoor, dapat dibangunkan dengan rangsangan minimal misalnya dengan bicara keras – keras atau menggoyangkan lengan.
• Tingkat III: Penderita dalam keadaan soporkoma, hanya dapat nereksi dengan rangsangan maksimal, yaitu dengan menggososk sternum dengan kepalan tangan .
• Tingkat IV: Penderita dalam keadaan koma, Tidak ada reaksi sedikitpun walaupun dengan ransangan maksimal.
Pada dasarnya tindakan utama yang harus dilakukan adalah melakukan ABC ( airway, breathing, circulation) bukan mencari penyebab keracunan, yang dimaksudkan disini adalah hal utama yang harus dilakukan adalah stabilisasi pasien, lakukan priorotas masalah, dan lakukan tindakan yang sesuai.
Menurut ilmu kedokteran.net penanganan pada pasien dengan keracunan adalah :
 Airway
• Perhatikan dan tangani jalan nafas.
 Breathing
• Perhatikan pola nafas
 Circulation
• Kaji, tetapkan, dan tangani status asam basa dan elektrolit.
• Perhatikan perdarahan dan control perdarahan jika ada.
• Perhatikan status jantung ( denyut nadi, suara,aliran)




Pemeriksaan singkat dengan penekanan pada wilayah – wilayah yang mungkin memberi petunjuk kearah diagnosis toksikologi, meliputi :
• Tanda – tanda vital
Evaluasi yang teliti terhadap tanda – tanda vital yang meiputi tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu, dan tingkat kesadaran.
• Mata
Mata merupakan sumber informasi yang penting untuk toksikologis, karena beberapa kasus tosikologis menyebabkan perubahan pada mata. Tetapi tidak menentukan prognosis keracunan, gejala ini tidak bisa dijadikan pegangan.
• Mulut
Mulut mungkin menunjukkan tanda – tanda terbakar yang disebabkan oleh unsur korosif atau mungkin menunjukkan bekas tertentu yang menjadi ciri khas dari suatu bahan toksik.
• Kulit
Kulit sering menunjukkan adanya kemerahan atau keluar keringat yang berlebihan.
• Abdomen
Perubahan bising usus biasanya menyertai perubahan tingkat kesadaran. Pada kesadaran tingkat III biasanya bising usus negatif, dan pada tingkat IV selalu negative, sehingga pemeriksaan ini bisa dipakai untuk mencocokkan tinkat kesadaran.

Penatalaksanaan
1. Resusitasi
Setelah jalan napas dibebaskan dan dibersihkan, periksa pernapasan dan nadi. Infus dextrose 5 % kecepatan 15 – 20 tts/mnt, napas buatan + oksigen, hisap lendir dalam saluran napas, hindari obat – obat depresan saluran napas, kalau perlu respirator pada kegagalan napas berat. Hindar pernapasan buatan dari mulut ke mulut sebab racun organofosfat akan meracuni lewat mulut penolong. Pernapasan buatan hanya dilakukan dengan meniup face mask atau menggunakan alat bag – valve – mask.
2. Eliminasi
Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang sadar atau dengan pemberian sirup ipecac 15 –30 ml. Dapat diulan setelah 20 menit bila tidak berhasil.
Katarsis (intestinal lavage), dengan pemberian laksans bila diduga racun telah sampai di usus halus dan tebal.
Kumbah lambung (KL atau gastric lavage), pada penderita yang kesadaran yang menurun, atau pada mereka yang tidak kooperatif. Hasil paling efektif bila KL dikerjakan dalam 4 jam setelah keracunan.
Keramas rambut dan mandikan seluruh tubuh dengan sabun.
Emesis, katarsis dan KL sebaiknya hanya dilakukan bila keracunan terjadi kurang daari 4 – 6 jam. Pada koma derajat sedang hingga berat tindakan KL sebaiknya dikerjakan dengan bantuan pemasangan pipa endotrakeal berbalon, untuk mencegah aspirasi pneumonia.
3. Antidotum
Atropin sulfat (SA) bekerja dengan menghambat efek akumulasi AKh pada tempat penumpukan.
a. Mula –mula diberikan bolus iv 1 – 2,5 mg
b. Dilanjutkan dengan 0,5 – 1 mg setiap 5 – 10 – 15 menit sampai timbul gejala – gejala atropinisasi (muka merah, mulut kering, takikardi, midriasis, febris, dan psikosis).
c. Kemudian interval diperpanjang setiap 15 – 30 – 60 menit, selanjutnya setiap 2 – 4 – 6 – 8 dan 12 jam
d. Pemberian SA dihentikan minimal setelah 2 X 24 jam. Penghentian yang mendadak dapat menimbulkan rebound effect berupa edema paru dan kegagalan pernapasan akut yang sering fatal.
Setelah kondisi pasien stabil lakukan pemerikasaan anamnesis dan pemeriksaan fisik lanjutan dan bila perlu lakukan pemeriksaan laboratorium.

G. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian.
Pengkajian difokusakan pada masalah yang mendesak seperti jalan nafas dan sirkulasi yang mengancam jiwa,adanya gangguan asam basa,keadaan status jantung,status kesadaran.
Riwayat kesadaran : riwayat keracunan,bahan racun yang digunakan,berapa lama diketahui setelah keracunan,ada masalah lain sebagi pencetus keracunan dan sindroma toksis yang ditimbulkan dan kapan terjadinya.

b. Masalah keperawatan. Yang mungkin timbul adalah :
1. Tidak efektifnya pola nafas
2. Resiko tinggi kekurangan cairan tubuh.
3. Gangguan kesadaran
4. Resiko tinggi cidera

c. Intervensi.
1. Pertolongan pertama yang dilakukan meliputi : tindakan umum yang bertujuan untuk keselamatan hidup,mencegah penyerapan dan penawar racun ( antidotum ) yan meliputi resusitasi, : Airway, breathing, circulasi eliminasi untuk menghambat absorsi melalui pencernaaan dengan cara kumbah lambung,emesis, atau katarsis dan kerammas rambut.
2. Berikan anti dotum sesuai advis dokter minimal 2 x 24 jam yaitu pemberian SA.
3. Perawatan suportif; meliputi mempertahankan agar pasien tidak samapi demam atau mengigil,monitor perubahan-perubahan fisik seperti perubahan nadi yang cepat,distress pernafasan, sianosis, diaphoresis, dan tanda-tanda lain kolaps pembuluh darah dan kemungkinan fatal atau kematian.Monitir vital sign setiap 15 menit untuk beberapa jam dan laporkan perubahan segera kepada dokter.Catat tanda-tanda seperti muntah,mual,dan nyeri abdomen serta monotor semua muntah akan adanya darah. Observasi fese dan urine serta pertahankan cairan intravenous sesuai pesanan dokter.

4. Jika pernafasan depresi ,berikan oksigen dan lakukan suction. Ventilator mungkin bisa diperlukan.
5. Jika keracunan sebagai uasaha untuk mebunuh diri maka lakukan safety precautions . Konsultasi psikiatri atau perawat psikiatri klinis. Pertimbangkan juga masalah kelainan kepribadian,reaksi depresi,psikosis .neurosis, mental retardasi dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

Captain, C, ( 2008). Assessing suicide risk, Nursing made incredibly easy, Volume
6(3), May/June 2008, p 46–53
Carpenito, LJ (2008). Nursing diagnosis : Aplication to clinical practice, Mosby St Louis
http:/www.sheppard86.blogspot.com
Kaplan and Saddock (2005). Comprehensive textbook of Psychiatry, Mosby, St Louis.
Stuart, GW and Laraia (2005). Principles and practice of psychiatric nursing, 8ed.
Elsevier Mosby, Philadelphia
Shives, R (2008). Basic concept of psychiatric and Mental Health Nursing, Mosby,
St Louis.
Varcarolis, E M (2000). Psychiatric Nursing Clinical Guide, WB Saunder Company,
Philadelphia.