Kamis, 03 Desember 2009

Askep BPH

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA


A. PENGERTIAN
 BPH adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang kemudian mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. (R. Sjamsuhidayat, 1997)
 Prostat Hiperplasia adalah pembesaran glandula dan jaringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin berkenaan dengan proses penuaan. Kelenjar prostat mengitari leher kandung kemih dan urethra, sehingga hipertropi prostat sering menghalangi pengosongan kandung kemih. (Susan Martin Tucker, 1998)

B. ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadiya hiperplasiprostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging.
Beberapa teori yang menjelaskan tejadinya hiperplasia pada kelenjar periurethral, yaitu :
 Teori Sel Stem (Isaac, 1984, 1987)
Berdasarkan teori ini pada keadaan normal kelenjaar periurethral dalam keseimbangan antara yang tumbuh dengan yang mati (steadystate). Sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh karena sesuatu sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormonal atau faktor pencetus yang lain maka sel stem tersebut akan dapat berproliferasi lebih cepat sehingga terjadi hiperplasia kelenjar periurethral.
 Teori Rewakening dari jaaringan kembali seperti perkembangan seperti pada masa tingkat embrionik, sehingga jaringan periurethral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
 Teori yang mengatakan bahwa hiperplasia disebabkan oleh karena terjadinya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testoteron dan estrogen. Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testoteron dan estrogen, karena produksi testoteron menurun dan terjadi konversi testoteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Perubahan konsentraasi relatif testoteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat.
(B. purnomo,2000)

C. GAMBARAN KLINIK
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah :
- Obstruksi :
• Hesistensi (harus menunggu lama bila mau miksi)
• Pancaran miksi lemah
• Intermitten (miksi terputus)
• Miksi tidak puas
• Distensi abdomen
• Volume urin menurun dan harus mengejan saat berkemih
- Iritasi : frekuensi sering, nokturia, disuria
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Nyeri pinggang, demam (infeksi), hidronefrosis
c. Gejala di luar saluran kemih :
Keluhan pada penyakit hernia/hemoroid sering mengikuti penyakit hipertropi prostat. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan penigkatan tekanan intra abdominal.
(B. Purnomo, 2000)
Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradasi, yaitu :
Derajat 1 :Apabila ditemukan keluhan protatismus, pada DRE (colok dubur) ditemukan penonjolan prostat dan sisa urin kurang daari 50 ml.
Derajat 2 :Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih menonjol, bataas ataas masih teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.
Derajat 3 :Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urine lebih dari 100 ml.
Derajat 4 :Apabila sudah terjadi retensi total
(R. Sjamsuhidayat, 1997)

D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Urinalisis : warna kuning, coklat gelap, merah gelap/terang, penampilan keruh, pH : 7 atau lebih besar, bakteria.
b. Kultur urin: adanya staphylokokus aureus. Proteus, klebsiella, pseudomonas, e. coli.
c. BUN/kreatin : meningkat
d. IVP : menunjukkan pelambatan pengosongan kandung kemih dan adanya pembesaran prostat, penebalan abnormal otot kandung kemih.
e. Sistogram : mengukur tekanan darah dan volume dalam kandung kemih
f. Sistouretrografi berkemih: Sebagai ganti IVP untuk memvisualisasi kandung kemih dan uretra dengan menggunakan bahan kontras lokal
g. Sistouretroscopy : Untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan dikandung kemih
h. Transrectal ultrasonografi : mengetahui pembesaran prostat , mengukur sisa urin dan keadaan patologi seperti tumor atau batu.
(R. Sjamsuhidayat, 1997 dan B. Purnomo, 2000)

E. PENATALAKSANAAN
a. MEDIKAMENTOSA
Penderita derajat satu biasanya diberikan pengobatan konservatif misalnya dengan pemberian penghambat adrenoreseptor alfa seperti : alfarosin, prazosin dan terazosin. Keuntungannya adalah efek positif pada keluhan pasien tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat sedikitpun.
Mengurangi volume prostat dengan cara menurunkan kadar hormon testoteron/dehidrotestoteron (DHT) yaitu dengan finasteride penghambat 5 alfa reduktase yang mencegah perubahan testoteron menjadi dehidrotestoteron sehingga kadar zat aktif dehidrostestoteron menyebabkan mengecilnya ukuran prostat.

b. PEMBEDAHAN
1. Derajat dua merupakan indikasi pembedahan biasanya dianjurkan dengan reseksi endoskopis melalui uretra (trans urethral resection = TUR).
2. Derajat tiga, bila prostat diperkirakan sudah cukup besar dilakukan pembedahan terbuka melalui transvesikal, retropubik atau perianal. Pada pembedahan yang melalui kandung kemih dibuat sayatan ,kemudian prostat dienukleasi dari dalam simpainya.
3. Pengobatan infansif minimal dengan
a. Uretral microwave thermotherapy (TUMT) yaitu pemanasan prostat dengan gelombang micro.
b. Cahaya laser (TULIP = trans uretral ultrasonound guided laser induced prostatectomy)
c. TUBD = trans uretral ballon dillatation yaitu uretra didaerah prostat dilatasi dengan memakai balon yang dikembangkan di dalamnya,

F. KOMPLIKASI
Yang berkaitan dengan prostatektomi yaitu
a. Hemoragi dan syok
b. Pembentukan bekuan /trombosis
c. Obstruksi kateter
d. Disfungsi seksual (Long C, Barbara; R. Sjamsuhidayat, Brunner dan suddart)

DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL

A. BPH PRAOPERASI

1. Retensi urin b.d pembesaran prostat
Tujuan : tidak terjadi retensi urin
Kriteria hasil:
a. Berkemih dengan adekuat tanpa bukti distensi kandung kemih
b. Jumlah volume residu urin kurang dari 75-100 ml
Intervensi:
• Kaji masukan dan haluaran tiap 4-8 jam
• Kaji kekuatan aliran urin, frekuensi, waktu yang dibutuhkan untuk memulai aliran, gunakan pola berkemih tiap hari
• Anjurkan pasien untuk berkemih setiap 2-4 jam dan mematuhi rangsangan untuk berkemih
• Waspada pada pemberian obat-obatan yang dapat menyebabkan retensi urin
• Diet ketat terhadap alkohol, kopi, teh dan cola
• Pasang kateter pasien setekah setiap berkemih sesuai instruksi untuk menentukan juklah residu urin, laporkan bila lebih dari 100 ml
• Gunakan pengukuran berkemih
• Pantau BUN dan kreatinin serum

2. Nyeri b.d spasme otot spincter, iritasi mukosa, distensi kandung kemih
Tujuan : Nyeri berkurang/hilang
Kriteria hasil:
a. Melaporkan menurunnya nyeri
b. Ekspresi wajah dan posisi tubuh terlihat relaks
Intervensi:
• Kaji sifat, intensitas, lokasi, lama dan faktor pencetus dan penghilang nyeri
• Berikan tindakan kenyamanan nonfarmakologis, bantu pasoen pada posisi nyaman, berikan rendam duduk dan pencucian perineal hangat, ajarkan tehnik relaksasi dan bimbingan imajinasi dan atau berikan aktivitas hiburan
• Pantau dan dokumentasikan hilangnya nyeri dan efek samping yang tidak didinginkan
• Beritahu dokter bila nyeri tidak berkurang atau meningkat

3. Potensial infeksi b.d penggunaan kateter dan atau retensi urin
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil:
a. suhu dalam rentang normal
b. Urin jernih, warna kuning, tanpa bau
c. Tidak terjadi distensi kandung kemih
Intervensi:
• Periksa suhu tiap 4 jam dan laporkan jika diatas 38,5 derajat C
• Tuliskan karakter urin; laporkan bila keruh dan bau busuk
• Bila ada kateter uretral, pertahankan sistem drainase gravitasi tertutup
• Gunakan tehnik steril untuk kateterisasi intermiten selama perawatan di rumah sakit
• Pantau abdomen/kandung kemih terhadap distensi
• Pantau dan laporkan tanda dan gejala ISK
• Gunakan tehnik cuci tangan yang baik, ajarkan dan anjurkan pasien untuk melakukan yang sama

B. POST OPERASI

1. Nyeri b.d insisi bedah, spasme kandung kemih dan distensi urin
Tujuan : nyeri berkurang/ hilang
Kriteria hasil:
a. Melaporkan penurunan nyeri
b. Ekspresi wajah dan posisi tubuh terlihat relaks
Intervensi:
• Kaji sifat, intensitas, lokasi, lama dan faktor pencetus dan penghilang nyeri
• Kaji tanda nonverbal nyeri ( gelisah, kening berkerut, mengatupkan rahang, peningkatan TD)
• Berikan pilihan tindakan rasa nyaman
Bantu pasien mendapatkan posisi yang nyaman
Ajarkan tehnik relaksasi dan bantu bimbingan imajinasi
• Dokumentasikan dan observasi efek dari obat yang diinginkan dan efek sampingnya
• Secara intermiten irigasi kateter uretra/suprapubis sesuaiadvis, gunakan salin normal steril dan spuit steril
Masukkan cairan perlahan-lahan, jangan terlalu kuat.
Lanjutkan irigasi sampai urin jernih tidak ada bekuan.
• Jika tindakan gagal untuk mengurangi nyeri, konsultasikan dengan dokter untuk penggantian dosis atau interval obat.

2. Perubahan pola eliminasi perkemihan b.d reseksi pembedahan dan irigasi kandung kemih
Kriteria hasil:
a. kateter tetap paten pada tempatnya
b. Bekuan irigasi keluar dari dinding kandung kemih dan tidak menyumbat aliran darah melalui kateter
c. Irigasi dikembalikan melalui aliran keluar tanpa retensi
d. Haluaran urin melebihi 30 ml/jam
e. Berkemih tanpa aliran berlebihan atau bila retensi dihilangkan
Intervensi:
• Kaji uretra dan atau kateter suprapubis terhadap kepaatenan
• Kaji warna, karakter dan aliran urin serta adanya bekuan melalui kateter tiap 2 jam
• Catat jumlah irigan dan haluaran urin, kurangi irigan dengan haluaran , laporkan retensi dan haluaran urin <30 ml/jam
• Beritahu dokter jika terjadi sumbatan komplet pada kateter untuk menghilangkan bekuan
• Pertahankan irigasi kandung kemih kontinu sesuai instruksi
• Gunakan salin normal steril untuk irigasi
• Pertahankan tehnik steril
• Masukkan larutan irigasi melalui lubang yang terkecil dari kateter
• Atur aliran larutan pada 40-60 tetes/menit atau untuk mempertahankan urin jernih
• Kaji dengan sering lubang aliran terhadap kepatenan
• Berikan 2000-2500 ml cairan oral/hari kecuali dikontraindikasikan

3. Resiko terhadap infeksi b.d adanya kateter di kandung kemih dan insisi bedah
Tujuan: tidak terjadi infeksi
Hasil yang diharapkan:
a. Suhu tubuh pasien dalam batas normal
b. Insisi bedah kering, tidak terjadi infeksi
c. Berkemih dengan urin jernih tanpa kesulitan
Intervensi:
• Periksa suhu setiap 4 jam dan laporkan jikadiatas 38,5 derajat C
• Perhatikan karakter urin, laporkan bila keruh dan bau busuk
• Kaji luka insisi adanya nyeri, kemerahan, bengkak, adanya kebocoran urin, tiap 4 jam sekali
• Ganti balutan dengan menggunakan tehnik steril
• Pertahankan sistem drainase gravitas tertutup
• Pantau dan laporkan tanda dan gejala infeksi saluran perkemihan
• Pantau dan laporkan jika terjadi kemerahan, bengkak, nyeri atau adanya kebocoran di sekitar kateter suprapubis.

4. Resiko kelebihan cairan b.d absorbsi cairan irigasi (TURP)
Tujuan : terjadi keseimbangan cairan
Kriteria hasil:
a. Masukan dan haluaran ( dikurangi irigan) seimbang
b. Irigasi keluar secara total

Intervensi:
• Pantau dan laporkan tanda dan gejala delusi hiponatremia(rendahnya natrium serum, perubahan status mental, bingung, gelisah, kejang otot, mual, muntah , peningkatan TD)
• Pantau masukan dan haluaran tiap 4-8 jam
• Dengan cermat hitung irigan yang dimasukkan dan jumlah yang kembali/keluar; laporkan penurunan aliran keluar
• Hentikan irigasi saat tanda pertama kelebihan cairan terjadi, beritahu dokter
• Gunakan spuit untuk mengirigasi kateteruntuk menghilangkan bekuan

5. Resiko syok hipovolemik b.d kehilangan darah berlebihan
Tujuan : tidak terjadi syok
Kriteria hasil;
a. TTV stabil
b. Insisi menunjukkan tak ada tanda kemerahan, bengkak atau peningkatan suhu
c. Drainase kateter tetap berwarna merah muda selama 48 jam kemudian bening, kekuningan
d. Urin berwarna jernih, kuning
e. Kulit hangat dan kering
Intervensi:
• Pantau dan laporkan tanda dan gejala hemoragi ( hipotensi, takikardi, dispnea, dingin, kuit lembab, hematuria)
• Pantau balutan pada abdomen/suprapubis setiap 2 jam trhadap perdarahan
• Pantau uretra dan kateter suprapubik setiap 2 jam terhadap perdarahan yang berlebihan
• Laporkan perdarahan yang berlebihan dan /hematuria nyata pada dokter
• Pertahankan traksi pada kateter bila diprogramkan biasanya 4-8 jam pasca operasi.
• Pantau Hb, dan Ht

6. Disfungsi seksual b.d impotensi (prostatektomi radikal )dan atau perubahan pola seksual b.d ejakulasi retrograd (bedah suprapubis)
Kriteria hasil:
a. Pasien mendiskusikan perasaan tentang seksualitas dengan orang dekat
Intervensi:
• Berikan kesempatan untuk diskusi tentang seksualitas antara pasien dengan orang dekat
• Beri informasi tentang harapan kembalinya fungsi seksualitas
Impotensi terjadi pada prosedur radikal.
Ejakulasi retrograd terjadi pada pendekatan suprapubis
Fungsi seksualitas dapat diperbaiki dalam 6-8 minggu amun pasien tetap infertil
• Berikan informasi tentang konseling seksual
• Berikan penenangan bahwa jika luka insisiluka bedah sembuh , kontrol perkemihan yang baik akan pulih kembali


(M. Tucker, Martin;1998)

DAFTAR PUSTAKA :


1. R. Sjamsuhidayat, Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Penerbit Kedokteran, EGC, Jakarta, 1997
2. Long C, Barbara, Perawatan Medikal Bedah, Volume 3, Bandung, Yayasan IAPK pajajaran, 1996
3. B. purnomo, Dasar-Dasar Urologi, Jakarta, CV Infomedia, 2000
4. M. Tucker, Martin, Standart Perawatan Pasien : Proses keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi, Edisi V, Volume 3, Jakarta, EGC,1998
5. Susanne, C Smelzer, Keperawatan Medikal Bedah (Brunner &Suddart) , Edisi VIII, Volume 2, Jakarta, EGC, 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar